Kamis, 18 April 2019

SKRIPSI #HPH DAN PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT ARMA KABUPATEN KEPUALUAN TANIMBAR OLEH RISY TUARLELA


BAB I
PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang
Bertambahnya jumlah penduduk mendorong meningkatnya permintaan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Keadaan ini akan mengakibatkan habisnya hutan apabila tidak dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Pengelolaan hutan lestari, konservasi hutan dan pembangunan seluruh jenis hutan merupakan program Pemerintah Indonesia saat ini. Program tersebut bertujuan agar hutan dapat dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya dan umat manusia umumnya, baik masa kini maupun masa yang akan datang (Departemen Kehutanan, 2001). 
Pengusahaan hutan merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumber daya alam yang mempunyai arti penting bagi pembangunan perekonomian, khususnya di daerah Maluku. Pada masa pembangunan yang telah lalu, sektor kehutanan merupakan penyumbang devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas bumi. Namun demikian, dengan semakin berkembangnya teknologi dan semakin tingginya kebutuhan lahan untuk sektor lain serta terjadinya kebakaran hutan yang cukup luas, sumberdaya hutan khususnya sebagai penghasil kayu semakin menurun baik secara kualitatif maupun kuantitatif terutama pada hutan alam. Salah satu penyebabnya adalah semakin meningkatnya pemanfaatan sumberdaya hutan oleh pemerintah dan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH).
Definisi dan pengertian dari hak pengusahaan hutan (HPH) adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan, berdasarkan ketentuan–ketentuan yang berlaku serta berdasarkan azas kelestarian.
Sebagai salah satu kekayaan alam yang menjadi modal dasar pembangunan nasional, hutan memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat, baik itu manfaat ekologi, sosial, budaya maupun ekonomi. Sejalan dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini mengisyaratkan bahwa penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan, untuk itu hutan harus dikelolah dan dipelihara secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang.
Intervensi manusia dalam pemanfaatan dan manipulasi terhadap hutan baik pada masa silam maupun sekarang merupakan pengalaman yang konsekuensinya tidak dapat dihindarkan, yaitu berupa kerusakan baik biologi (vegetasi) maupun fisik (tanah dan iklim). Salah satu wilayah yang mempunyai potensi penghasil kayu hutan tropis adalah Pulau Yamdena, sebuah pulau terbesar dalam gugusan Kepulauan Tanimbar yang berada di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku. Pulau yang mempunyai luas 325.725 ha ini telah dilakukan eksploitasi oleh PT. Alam Nusa Segar dengan SK Menteri Kehutanan No. 215/Kpts-II/1991 tanggal 23 April 1991 dengan luas 164.000 Ha. Dikarenakan perusahan Alam Nusa Segar  melakukan eksploitasi berlebihan maka perusahan ini dicabut oleh  Menteri Kehutanan dengan  SK pencabutan No. 200/Menhut-II/2007 tanggal 16 Mei 2007.
Pada Tahun 2007 pemerintah membuka peluang lagi bagi investor untuk mengeksploitasi hutan Yamdena. Gubernur Maluku memberi rekomendasi (No.522.1126) kepada PT. Karya Jaya Berdikari (KJB) memanfaatkan hasil hutan kayu di wilayah Pulau Yamdena, begitu juga untuk Bupati Maluku Tenggara Barat lewat Surat Rekomendasi Bupati No.522/093/Rek/2007 sedangkan Surat Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Menteri Kehutanan dikeluarkan pada tanggal 19 Maret 2009 dengan SK.117/Menhut-II/2009.
Alasan pemerintah daerah memberikan ijin untuk PT. Karya Jaya Berdikari untuk mengeksploitasi hutan Yamdena bahwa, Pertama : penebangan liar oleh masyarakat adat semakin tak terkendalikan dan mulai mamasuki ambang batas toleransi. Kedua : dampak ekonomi dari eksploitasi hutan Yamdena oleh perusahan hak pengusahaan hutan, sangat signifikan terhadap peningkatan ekonomi kerakyatan dan terutama peningkatan pada pendapatan asli daerah (PAD).
Kondisi diatas terjadi pula dalam pemanfaatan sumber daya hutan di Desa Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Dimana persoalan hak atas lahan hutan yang merupakan bagian terpenting dari kehidupan masyarakat lokal seringkali merupakan potensi konflik. Kegiatan HPH seperti penebangan kayu secara besar-besaran untuk kebutuhan industri telah menimbulkan kemerosotan mutu lingkungan yang diderita masyarakat lokal. Masyarakat lokal boleh dikatakan tidak ikut menikmati hasil dari pemanfaatan hutan, tetapi harus menanggung dampak negatifnya, hal ini memicu perlawanan masyarakat lokal terhadap pengusaha HPH  (Saragih, 2001).
Desa Arma adalah salah satu desa yang berada di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dimana rata-rata penduduk masyarakat Arma sangat bergantung hidup pada sumber daya alam yang ada termasuk hutan. Salah satu sumber daya alam yang sering dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup masyarakat ini adalah hasil hutan. Hutan bagi masyarakat Arma adalah salah satu usaha yang memberikan kontribusi besar bagi kehidupan. Masyarakat Arma juga merupakan masyarakat petani, terlepas dari pada nelayan yang hidupnya tergantung pada alam. Kehidupan pada masyarakat di dukung dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat sehingga masyarakat hidup teratur, dengan berbagai aturan yang ada masyarakat pun dapat memahami dan mentaatinya. Terlepas dari kehidupan keteraturan tersebut terjadi pergeseran norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya ketika masuknya PT. Karya Jaya Berdikari sebagai hak pengusahaan hutan di Pulau Yamdena khususnya di Desa Arma yang membuat sehingga terjadinya perubahan-perubahan sosial budaya dalam masyarakat.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Arma ialah terjadinya distorsi atau pengikisan terhadap hubungan sosial, konflik internal (antara kelompok pro dan kontra) dan konflik eksternal (masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari), terjadi pergeseran pekerjaan (petani menjadi tenaga kerja perusahan), cara pandang masyarakat berbeda-beda terhadap sistem kerja yang di terapkan oleh hak pengusahaan hutan sehingga mengikis nilai-nilai sosial budaya dalam masyarakat serta fungsi sosial berubah menjadi fungsi ekonomi karena semakin tinggi kebutuhan. Persekutuan keluarga dan tanggung jawab bersama kelompok keluarga dalam menyelesaikan suatu masalah mulai bergeser pada logika hubungan sosial yang bersifat rasional, kalkulasi untung rugi yang sebelumnya tidak pernah ada kian menjadi bagian dari praktek hubungan sosial masyarakat Arma, uang memegang peranan cukup penting dalam menata pembangunan sosial masyarakat Arma, dampak teknologi modern yang di gunakan hak pengusahaan hutan merubah nilai-nilai budaya dan lain sebagainya.


Menyikapi kondisi diatas maka penulis merasa tertarik untuk mestudikannya secara ilmiah dengan meniliti perubahan sosial dalam masyarakat Arma dengan judul “Hak Pengusahaan Hutan dan Perubahan Sosial Masyarakat Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat”.
   B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana bentuk perubahan sosial masyarakat Arma setelah masuknya Hak Pengusahaan Hutan.?
   C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
a.       Tujuan
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
a)      Menganalisis bentuk perubahan sosial masyarakat setelah masuknya Hak Pengusahaan Hutan di Desa Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
b)      Menganalisa dan menjelaskan tentang hubungan sosial masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari.

b.       Manfaat Penelitian
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah dan tujuan penelitian yang telah disampaikan di atas, selanjutnya manfaat dari penelitian ini :
a)      Dijadikan sebagai bahan informasi bagi masyarakat dalam melihat perubahan sosial yang terjadi di Desa Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat
b)      Menjadi bahan masukan bagi pihak pemerintah daerah dalam melihat keberadaan hutan adat serta hak masyarakat hukum adat setempat serta perubahan sosial di masyarakat Arma.
c)      Menambah referensi bagi perkembangan Ilmu Sosial, khususnya sosiologi
d)     Sebagai sumbangan pemikiran bagi penelitian yang lebih mendasar terutama yang berkaitan langsung dengan pokok permasalahan.

   D.    Kerangka Teori
Untuk menganalisis “Hak Pengusahaan Hutan dan Perubahan Sosial Masyarakat Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat”Maka akan di kemukakan beberapa pengertian dan teori-teori yang berkaitan erat dengan topik yang akan di bahas.
   1.      Teori Tindakan Sosial ( Max Weber )
Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan ”membatin” atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu, atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa, atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu.
Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu :
  • Tindakan manusia, yang menurut aktor mengandung makna yang subjektif. Ini meliputi tindakan nyata.
  • Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subjektif.
  • Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
  • Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu (Ritzer, 2002 : 38-39). Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka. Hubungan sosial menurut Weber yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling menanggapi.
Pada umumnya tindakan sosial terjadi bukan saja terjadi pada individu-individu namun juga kelompok-kelompok masyarakat tertentu, dalam hubungan sosial masyarakat Arma setiap individu selalu melekatkan makna subjektifnya dalam membangun hubungan sosialnya. Dengan masuknya hak pengusahaan hutan di Desa Arma maka muncullah kubuh pro dan kontra, namun disadari sunggu bahwa memaknai dibalik tindakan tersebut ada makna subjektifnya dengan lain kata ada sesuatu atau sebab – akibat (positif di balik tindakan aktor tergantung presepsi masing-masing aktor bertindak)
Weber juga membicarakan bentuk-bentuk empiris tindakan sosial dan antar-hubungan sosial tersebut. Weber membedakan dua jenis dasar dari pemahaman yang bersifat tafsiran dari arti, dari tiap jenis pemahaman ini bisa dibagi sesuai dengan masing-masing pertaliannya, dengan menggunakan tindakan rasional ataupun emosional. Jenis pertama adalah pemahaman langsung yaitu memahami suatu tindakan dengan pengamatan langsung. Kedua, pemahaman bersifat penjelasan.
Dalam tindakan ini tindakan khusus aktor ditempatkan pada suatu urutan motivasi yang bisa dimengerti, dan pemahamannya bisa dianggap sebagai suatu penjelasan dari kenyataan berlangsungnya perilaku. Max Weber dalam (Ritzer, 2002:40-41) membedakan empat tipe tindakan sosial. Dimana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami. Tipe tindakan tersebut adalah:
1.      Rasionalitas instrumental : yaitu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
2.      Rasionalitas yang berorientasi nilai : alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada didalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut.
3.      Tindakan tradisional : seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar  atau perencanaan. Dalam kaitan dengan tindakan tradisional pada mayarakat Arma hak ulayat masyarakat merupakan petuanan hukum adat masyarakat Arma secara turun –temurun yang diwariskan oleh leluhur masyarakat Arma sehinga harus dilestarikan.
4.      Tindakan afektif : tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif bersifat spontan, tidak rasional dan merupakan refleksi emosional dari individu atau dengan kata lain tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami. Kurang atau tidak rasional.
Menyikapi kondisi masyarakat Arma dengan arus goncangan hak pengusahaan hutan yang mengeksploitasi hasil hutan masyarakat Arma, hal ini memicu emrio konflik, secara spontan masyarakat menolak hak pengusahaan hutan melakukan aksi penolakan yaitu pembakaran bes camp hak pengusahaan hutan serta melakukan perlawanan terhadap karyawan atau tenaga kerja hak pengusahaan hutan.
Menurutnya bahwa keempat tindakan tersebut sulit diwujudkan dalam kenyataan, namun apapun wujudnya hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-pihak yang berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan makna tindakan sosial yang mereka lakukan.

   2.      Teori Konflik (Lewis Coser)
            Menurut Lewis Coser, konflik terbagi atas dua bagian  yaitu konflik internal dan konflik eksternal.
1.      Konflik internal adalah konflik yang sering terjadi dalam kelompok internal itu sendiri sehingga memperlemah ruang solidaritas diantara mereka.
2.      Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, sehingga dapat memperkuat masing-masing kelompok yang bertikai.
            Kemudian konflik yang terjadi juga bukan secara individu tetapi secara berkelompok, maka Lewis Coser berpandangan bahwa konflik sering memperkuat dan mempertegas batas kelompok dan meningkatkan penggalangan solidaritas internal kelompok. Konflik antara kelompok merupakan penghadapan antara in –group dan out-group.
            Ketika konflik terjadi, masing-masing anggota dalam satu kelompok akan meningkatkan kesadaran sebagai sebuah kelompok (in-group) untuk berhadapan dengan kelompok lain (out-group). Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial lainnya (Poloma, 1987:108). Ketika ada ancaman dari luar maka kelompok tidak mungkin memberikan toleransi pada perselisihan internal. 
     Coser mengatakan bahwa “semakin kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik untuk suatu kepentingan yang realistik, konflik semakin kurang keras”. Sebaliknya semakin kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik untuk dalam suatu kepentingan yang non realistik semakin keras konflik itu. Coser membuat suatu perbedaan yang penting dalam hubungan ini antara konflik realistik dan nonrealistik. Konflik realistik diarahkan/ditujukan ke objek konflik yang sebenarnya (berakar dari sumber konflik yang bersifat materiil), sedangkan konflik nonrealistik membelok dari objek konflik yang sebenarnya (berakar dari sumber konflik yang bersifat nonrealistik dan mengarah pada hal-hal yang berbau idealistis seperti konflik antar etnis, agama, ras, dan sebagainya). Perlu dipahami dengan jelas bentuk dan sumber konflik agar dapat menentukan langkah dalam mengatasi konflik-konflik tersebut.
            Prespektif demikian jika dihubungkan dengan konflik di Desa Arma, konflik realistik ditujukan pada pengeksploitasian hasil hutan masyarakat Arma. Sedangkan konflik nonrealistik yaitu konflik yang mengarah pada pandangan masyarakat (pro dan kontra) terhadap hak pengusahaan hutan.
            Lebih lanjut Coser mempunyai pandangan yang menyebutkan bahwa, konflik tidak selamanya destruktif, melainkan katup penyelamat (savety valve), dalam arti konflik memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan bahkan konflik mempererat individu dan kelompok. (M Poloma,2004:108). Selanjutnya menurut Coser, masyarakat yang mengalami disintegrasi, atau konflik dengan masyarakat lain dengan dapat memperbaiki kepaduan integrasi. Analisa Coser tentang konflik sebagai keterpautan bagi komunitas sosial yang bertikai dapat diidentifikasi: pertama, sebagai katup penyelamat. Konflik diperlukan untuk mempertahankan hubungan tanpa cara-cara menyalurkan kebencian terhadap pihak lain, anggota kelompok cenderung untuk menahan diri sehinga sistem sosial dapat dipertahankan dalam batas-batas tertentu. Kedua, sebagai stabilitator sistem sosial, konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang memecah belah dan menegakan kembali persatuan, serta dapat meredakan ketegangan antara pihak-pihak yang bertentangan. Ketiga, konflik sebagai kolektif kelompok, dalam arti bahwa suatu konflik dimana pelakunya merasa mereka adalah wakilnya dari kelompok yang perjuangannya dilandaskan pada ideologi tertentu dan bukan karena kepentingan individu atau pribadi, mereka cenderung bertindak radikal. Keempat, konflik sebagai penemuan inovasi nilai dan norma, artinya konflik menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru diantara pihak-pihak yang bertentangan, yang sebelumnya belum tercipta sehingga keteraturan kembali terwujud. Kelima, konflik dapat mempersatukan individu-individu/kelompok yang sebelumnya tidak saling berhubungan sehingga terciptanya kualisi demi kepentingan-kepentingan pelaku konflik.

    E.     Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
1.      Defenisi Konsep
1.1.Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan, berdasarkan ketentuan–ketentuan yang berlaku serta berdasarkan azas kelestarian (Hadisaputro, 2000).
1.2.Perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu (Macionis, 1987: 638)
1.3.Masyarakat hukum adat adalah kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya (Menurut Hasairin)

2.      Defenisi Operasional
Beberapa Defenisi Operasional dan pengukurannya yang dipakai dalam penelitian ini adalah :
2.1.Sejarah Hak Pengusahaan Hutan di Indonesia
2.2.Sejarah Hak Pengusahaan Hutan di Pulau Yamdena
2.3.Pengetahuan dan pandangan masyarakat tentang Hak Pengusahaan Hutan
2.4. Identifikasi kelompok pro dan kontra Hak Pengusahaan Hutan di Desa Arma.
2.5.Pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah Hak Pengusahaan Hutan
2.6. Hubungan masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari

   F.     Metode Penelitian     
   1.      Tipe Penelitian
            Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk meneliti permasalahan yang diangkat adalah metode penelitian kualitatif. Metodeologi penelitian kualitatif merupakan suatu cara yang dijalankan oleh seseorang peneliti dalam menghimpun data di lapangan. Peneliti mengunakan metode penelitian kualitatif ini untuk berusaha memahami dan mendiskripsikan tentang perubahan sosial masyarakat Arma.
     2.      Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian ini di laksanakan di Desa Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
     3.      Sumber Data
Data-data yang dianalisis dalam penelitian ini dari dua sumber yaitu :
a)      Sumber data sekunder yaitu data-data yang tertulis yang di peroleh dari lokasi penelitian yang berupa data-data dari institusi terkait yang berhubungan dengan penelitian.
b)      Sumber data primer yaitu data-data yang di peroleh di lokasi penelitian atau objek penelitian. 
     4.      Teknik Pengumpulan Data
Data pada dasarnya merupakan informasi yang dipandang dapat memberikan gambaran mengenai suatu masalah atau keadaan. Data dipandang baik apabila data itu memperlihatkan kebenaran yang dapat dipercaya, dalam artian bisa memberikan gambaran mengenai suatu permasalahan atau keadaan secara sempurna dan lengkap. Dalam penelitian ini ada beberapa teknik pengumpulan data, antara lain :
     a.      Informan Kunci
Informan menjadi orang yang sangat penting dalam mendapatkan informasi menyangkut permasalahan penelitian ini, karena dalam penelitian informan menjadi kunci untuk mendapatkan data empiris (R. H. Soemitro, 1985: 70). Informan dalam penelitian ini berjumlah 20 orang yakni:
1.      Satu orang pemerintah daerah (Wakil Bupati MTB): sebagai penguasa atau pemberi rekomendasi
2.      Dua orang tenaga kerja perusahan : satu orang staf perusahan dan satu orang buru kasar perusahan
3.      Dua orang tim 10 yaitu tim yang menjebati kepentingan masyarakat Arma dengan perusahaan
4.      Enam orang tokoh masyarakat : Dua orang tokoh pemerintahan dan Dua orang tokoh adat, merupakan pemandu kepentingan masyarakat Arma.
5.       Enam orang masyarakat : tiga orang yang pro hak pengusahaan hutan dan tiga orang kontra hak pengusahaan hutan.
6.      Dua orang mahasiswa yang peran aktif dalam memberikan kontribusi.
7.      Satu orang dosen yang mempunyai pengetahuan tentang kronologis masalah hak pengusahaan hutan di Pulau Yamdena
Alasan memilih informan berdasarkan hasil observasi awal adalah informan yang secara sosial pembawaan diri terhadap masyarakat yang di nilai baik, serta di dukung dengan keaktifan mereka sebagai oknum yang berperan dalam menjembatani masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari, organisasi pemerintahan, agama, adat dan pemuda dalam masyarakat.
    b.      Observasi.
            Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala sosial psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan (R. H. Soemitro, 1985: 62). Dengan teknik ini penulis mengamati secara langsung dan memperoleh data primer dan sekunder.
    c .       Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
            Salah satu metode pengumpulan data di lakukan melalui wawancara mendalam yaitu suatu kegiatan dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden (Koentjaraningrat, 1985: 39). Dengan teknik ini, penulis mewawancarai informan dengan berpedoman pada pedoman wawancara terbuka yang telah disiapkan sebelumnya.
    d.      Dokumentasi
            Pada bagian ini penulis akan mengumpulkan data dengan alat bantu yang digunakan adalah dokumentasi melalui camera digital (foto), dan alat perekam suara.
    5.      Analisa Data
            Menganalisa data meliputi catatan lapangan untuk mencari analisis perubahan sosial masyarakat Arma dengan masuknya PT. Karya Jaya Berdikari sebagai pengelolah HPH. Setelah data sudah terkumpul, kemudian penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mengelola dan menganalisa data secara kualitatif dengan cara :
1)   . Mengumpulkan dan mengkatagorikan data penelitian sesuai tujuan penelitian yang hendak penulis capai
2)   . Analisa data dan interprestasi data
3)   . Kegiatan verifikasi dan penarikan kesimpulan.

BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A.    SEJARAH SINGKAT DESA ARMA
            Desa Arma dulu kira-kira pada abad ke VIII M, terdapat sebuah kampung di pulau Yamdena Utara (Kepulauan Tanimbar) yang bernama angwampuin. Kampung ini dihuni oleh seorang satria perkasa yang bernama Kormpau Felan Andrityaman (yang dipahami moyang pertama dalam sejarah orang Arma) bersama keluarga serta pengikut-pengikutnya. Daerah kekuasaannya amat luas dimana sebelah utara berbatasan dengan kampung Aryata pada pulau Tongirsoin dan sebelah selatan berbatasan dengan kampung kilmasa. Dalam sejarah kehidupannya, tak lama kemudian pulau Arkilu dan Lenglengar yang mendirikan kampung yang mana sebelah selatan yang berbatasan dengan Arkilu Lenglengar pada Feninlambir. Kormpau Fenan Adrityaman itu kemudian dikenal dengan marga Batkormbawa. Dalam proses kehidupan sehari-hari sesuai dengan tradisi adat di Tanimbar, maka semua penghuni daerah kekuasaan Angwampuin mengaku dirinya sebagai Lolat dan marga Batkormbawa yang merupakan keturunan dari Felan Andrityaman sebagai Duang.
            Untuk mempertahankan kekuasaan Angwampuin yang luas itu, maka Ken lliyolik yang adalah keturunan Kormpau Felan Andrityaman, memerintah anak-anaknya, antara lain: Alait, Awolin, dan NgongRatu untuk memanggil dan mengumpulkan semua orang penghuni daerah-daerah kekuasaan Angwampuin untuk diajak bermufakat guna membuat sebuah kampung.Setelah selesai bermufakat, maka mereka memilih tempat perkampungan pada pesisir pantai, selanjutnya guna menentukan nama apa yang diberikan pada kampung yang akan di bangun, maka oleh Ken Ilyolik menyarankan, bahwa nama kampung tersebut adalah Elmya yang diartikan “Suruh panggil” yang di ambil dari pengertian Ken Ilyolik dimana menyuruh anaknya untuk memanggil dan mengumpulkan semua penghuni dari daerah kekuasaannya guna bersatu dalam satu kampung.
            Di kemudian hari Elmya lebih lasim ditulis Ermiyau. Hal ini disebabkan oleh pelafalan dialek setempat. Selanjutnya oleh bangsa Belanda lebih menyukai dan menyebut Elmiya dengan Arma,maka terbentuklah kampung Ermyau (Arma) dengan penghuninya yang berasal dari berbagai marga yang disatukan menjadi warganya. Jadi sesungguhnya kampung Arma adalah merupakan penyamaan dari kampung Angwampuin. Sebuah kampung tua di Tanimbar yang sejarahnya hampir punah akibat perkembangan zaman, namun dengan adanya data-data konkrit seperti tradisi lisan yang berkembang dimasyarakat, maka sejarah kampung tersebut bisa ditulis dan dijadikan aset bagi generasi selanjutnya.

B.     KEADAAN GEOGRAFIS
1.      Letak dan Luas Wilayah
            Desa Arma adalah salah satu Desa yang berada di pesisir pantai dibawah pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku. Desa Arma terletak dipesisir Utara Pulau Yamdena Timur dengan ketinggian 20-30 meter di atas permukaan laut. Desa Arma dihiasi oleh satu tanjung yang di sebut Bat Los. Secara Geografis desa Arma berbatasan dengan:
Ø  Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Watmuri
Ø  Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Makatian
Ø  Sebelah Utara berbatasan dengan Desa-desa Empat Serangkai
Ø  Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Manglusi
        Dilihat letak geografis, maka Desa Arma mempunyai luas daerah kira-kira 1000 km. Adapun transportasi yang digunakan  untuk tiba di Ibu kota Kecamatan melalui jalur laut dengan perahu dan jalur darat yaitu dengan sepeda motor dengan jangkauan kira-kira 15 km/mil, untuk akses ke Ibu kota kabupaten kira-kira 107 km/mil.
2.      Keadaan Iklim dan Musim
             Desa Arma memiliki iklim tropis, dimana terdapat dua musim yaitu musim barat dan musum timur. Perubahan musim untuk tiap tahun rata-rata suhunya 24,2 ºC – 30,8 ºC. Pada bulan Oktober sampai bulan Maret adalah musim kemarau, bulan April sampai September adalah musim hujan. Sedangkan bulan Februari sampai bulan Agustus terjadi perubahan iklim yang tidak menentu (Masa Pancaroba).

C.    KEADAAN DEMOGRAFIS
        Keadaan penduduk berdasarkan Statistik Desa Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat adalah sebanyak KK 445 dengan jumlah jiwa 2.071 jiwa. Terdiri dari Laki-laki 1.041 dan perempuan 1.030 orang. Angka jenis kelamin menurut kelompok umur di Desa Arma dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel. 1 : Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

 No

Golongan Umur
Jenis Kelamin

Jumlah Jiwa
L
P
1
0 – 5 tahun
185
192
377
2
6 – 12 Tahun
170
180
350
3
13 – 15 Tahun
95
108
203
4
17 – 18 Tahun
90
85
175
5
19 – 25 Tahun
110
122
232
6
26 – 35 Tahun
151
95
246
7
36 – 59 Tahun
195
140
335
8
60 Tahun keatas
53
100
153

T o t a l
1.049
1.022
2.071 Jiwa
            Sumber data Statistik Desa Arma, 15 September 2015
D.    KEADAAN MATA PENCARIAN
Tabel. 2 : Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pekerjaan
No
Jenis Pekerjaan
Jenis kelamin
Jumlah
L
P
1
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
17
13
30
2
Petani
150
151
301
3
Nelayan
25
-
25
4
Rumput Laut
25
16
41
5
Pedagang
4
6
10
6
Penenun
-
13
13
7
Karyawan perusahan
5
2
7
8
Pensiunan
6
1
7
9
Tukang Kayu
11
-
11
10
Belum / Tidak Bekerja
886
740
1637

J u m l a h
1129
942
2.071
                                    Sumber data Statistik Desa Arma, 15 September 2015
           
E.     KEADAAN PENDIDIKAN
            Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan suatu masyarakat. Melalui proses pendidikan seseorang dapat memperoleh pengetahuan yang luas dan sangat berorientasi pada masa depan. Selanjutnya pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat membentuk watak dan kepribadian seseorang untuk dapat mengatur dirinya dan kehidupannya memasuki taraf hidup yang lebih baik. Mengenai tingkat pendidikan yang pernah dinikmati oleh penduduk Desa Arma dapat di lihat pada tabel berikut :

Tabel. 3 : Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

No

Tingkat Pendidikan
Jenis Kelamin

        Jumlah
L
P
1
TK
19
18
37
1
SD
165
166
331
2
SMP
86
51
137
3
SLTA
97
69
166
4
Perguruan Tinggi
69
37
106
5
Putus Sekolah
35
11
46
6
Tidak/Belum Sekolah
564
684
1248

J u m l a h
1.035
1.036
        2.071
Sumber data : Kantor Desa Arma, 15 September 2015

F.     KEADAAN SOSIAL MASYARAKAT
v  Stuktur kemasyarakatan
             Penduduk Arma terdiri dari marga-marga asli yang sesuai dengan sejarah marga-marga pendatang yang dipanggil dan pendatang biasa. Marga-marga yang asli antara lain :
1.      Marga dari Kormpau Felan Anditiaman dikenal marga Batkormbawa
2.      Marga dari AmasRatu dan Aleru dikenal sebagai marga Batmomolin
3.      Marga Ken Langit dikenal sebagai marga Masela
4.      Marga Layate berasal dari marga Luturmas
5.      Marga dari Ken Rakit dikenal sebagai marga Daskuda
6.      Marga dari BowasRatu dikenal sebagai marga Pembuain
            Kemudian marga-marga yang dipanggil untuk membentuk kampung dan menanam serta mempertahankan tanah Arma yaitu : marga Jambormias, Singerin, Siletty, Tuarlela dan Samangun. Kemudian marga-marga pendatang lainnya yang datang menetap dan tinggal di desa Arma seperti Kafroli, Batserin, Lerebulan, Lawalata, Akakib, Haluruk, Nimroskosu, Teurupun, Belwawin, Soerata, Lermating, Zumah, Koritelu, Urath, Wutlanit, Dahoklori dan Yermias.
            Pembagian marga-marga tersebut dalam masyarakat Arma diatur sebagai berikut : marga Batkormbawa adalah tuan tanah dan kepala adat yang menjabat sebagai imam Agung (Mangsyompe Silai). Marga Jambormias sebagai marga Nakhoda, marga Batmomolin sebagai penjaga keselamatan rakyat.

v  Keadaan Sosial
        Penelitian menunjukan bawah potensi sosial masyarakat Arma sampai saat ini berjalan secara dinamis berdasarkan adanya kerja sama dan keharmonisan antar individu atau kelompok di kalangan masyarakat yang saling berinteraksi. Aspek sosial Desa Arma berdasarkan kultur atau budaya gotong royong yang tujuannya agar menjalin persaudaraan antar sesama dalam konteks sosial. Komonikasi Bahasa yang di gunakan adalah Bahasa Yamdena bagian timur (daerah) dan bahasa nasional (Indonesia) dalam pengenalan jati diri masyarakat sebagai mayarakat adat dan sebagai masyarakat yang nasionalis cinta akan budaya bangsanya. Hubungan kekeluargaan di antara masyarakat terjalin dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat desa Arma juga mempunyai toleransi yang cukup tinggi serta adanya rasa saling menghargai satu sama lain
        Desa Arma di pimpin oleh kepala Desa dan di bantu oleh badan legislatif desa serta kaur-kaur di bawah komando secara prosedur dan di dukung oleh masyarakat secara umum. Tak terlepas dari kondisi sosial yang di miliki oleh masyarakat Arma bahwa potensi yang dimiliki cukup beragam dan kedapatan bawah terdapat beberapa marga Batkormbawa, Jambormias, Daskunda, Batmomolin, Siletty dan sebagainya. Tentunya bawah realitas yang di jumpai dalam kehidupan masyarakat sering kedapatan berbagai konflik yang terjadi antar tetangga maupun antar daerah yang turut memberi ketidaknyamanan bagi kehidupan masyarakat desa Arma. Sering terjadi konflik atas hak perdata (batas tanah) antara pemerintah desa, dan juga masyarakat di desa Arma pribadi yang sentiment cukup kuat maupun konflik antar desa Arma dan Watmuri.

v  Keadaan Ekonomi
        Perekonomian di Desa Arma dapat di katakan cukup maju, karena di lihat pada cukupnya ketersediaan 9 (sembilan) bahan pokok dan juga daya beli masyarakat yang cukup baik, yang menjadi pusat perbelanjaan yang dapat di jangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat pada Desa Arma memiliki beragam mata pencaharian baik di bidang pertanian (petani), kelautan (nelayan) pemerintahan (PNS), wiraswasta dan lain sebagainya. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2014, di tinjau dari tingkat perekonomian penduduk desa Arma mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan adanya jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan. Secara ekonomi masyarakat desa Arma berada dalam kondisi masyarakat yang memiliki tingkat perekonomian yang sangat relatif artinya bahwa masyarakat pada desa Arma tersebut terdapat anggota masyarakat yang ekonominya lemah, menengah dan ekonomi atas.

G.    SARANA DAN PRASARANA
        Sarana perhubungan dari desa Arma ke ibu kota kecamatan (Tutukembong) dan Saumlaki sebagai ibu kota kabupaten di hubungkan dengan jalan darat dengan konstruksi jalan beraspal. Dan jalur laut dengan mengunakan motor laut.



Tabel. 4 : Sarana dan Prasarana
No
Sarana dan Prasarana
Jumlah
Total
1.


2.




3.

4.

Sarana Peribadatan
a.    Gedung Gereja
b.    Kunci Stori
Sarana Pendidikan
a.       Gedung TK
b.      Gedung SD
c.       Gedung SMP
d.      Asrama Guru
Sarana Kesehatan
-          Puskesmas
Sarana Perkantoran
- Gedung Kantor Desa

1
1

1
3
1
2

1

1

1
1

1
3
1
2

1

1

T o t a l
11
11
            Sumber data : Kantor Desa Arma, 15 September 2015









H.    STRUKTUR PEMERINTAHAN DESA ARMA
























BAB III
ANALISA HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN PERUBAHAN SOSIAL
MASYARAKAT ARMA

Kehidupan manusia pada umummya berada dalam satu lingkungan yang mendorong setiap individu untuk berada dalam sebuah kumpulan yang disebut masyarakat. Kehidupan masyarakat itu selalu mengalami sebuah dinamika perubahan yang dapat menadikan kehidupan masyarakat itu baik atau buruk dan sebaliknya. Akibatnya akan mendorong pula berbagai pola perubahan dalam masyarakat seperti perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Arma dengan hadirnya hak pengusahaan hutan untuk mengeksploitasi hak wilayat masyarakat setempat.

A.    Sejarah Hak Pengusahaan Hutan di Indonesia
Pengelolaan hutan Indonesia banyak dipengaruhi oleh perubahan dinamis dalam kebijakan pemerintah dan kondisi perekonomian negara. Kebijakan pengelolaan hutan dapat dikelompokkan ke dalam empat periode, antara lain;
a.       Pertama, 1950-1975, kebijakan untuk perluasan areal pertanian ke wilayah hutan, yang menyebabkan bencana alam seperti banjir, terutama di pulau Jawa,
b.      Kedua, 1975-1990, kebijakan untuk menerbitkan izin hak pengusahaan hutan,
c.       Ketiga, 1990-1997, pemerintah mulai memberi perhatian pengelolaan hutan DI luar kawasan hutan dan
d.      Keempat, 1997 hingga sekarang, era reformasi dengan perubahan politik yang cukup signifikan setelah runtuhnya pemerintahan orde baru.
“Jauh sebelum Indonesia merdeka, kebijakan pengelolaan hutan dan lahan selama zaman kolonial sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia di kemudian hari dalam menetapkan kerangka peraturan dan kebijakan hutan nasional,” (Sumber :tulis peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), Ani Adiwinata dan Staf Pusat Penelitian Sosial-Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Balitbang Kehutanan Departemen Kehutanan, Lukas Rumboko.)
v  Kurun waktu 1950-1975
Deforestasi di Indonesia berlangsung cukup panjang. Semasa penjajahan Belanda dan Inggris, penebangan hutan (deforestasi) terjadi atas kebijakan perdagangan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang mengizinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi dan pembuatan kapal. Kegiatan ini didukung kebijakan izin pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian agar beroleh pendapatan dari pajak bumi melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Sistem ini memaksa perubahan fungsi hutan menjadi kebun tebu, kebun kopi, kebun nila dan kebun karet.
Kegiatan penebangan hutan ini masih terus berlanjut selama masa kependudukan Jepang, 1942-1945. Sebagian besar deforestasi pada zaman itu disebabkan oleh penebangan hutan jati dan hutan alam sebanyak dua kali lipat jatah tebangan tahunan. Tindakan ini bertujuan untuk membiayai perang. Setelah melakukan penebangan, lahan disewakan kepada penduduk untuk ditanami tanaman pangan. Khusus di Pulau Jawa semasa Jepang berkuasa kurang lebih 4.428 hektar hutan telah dibuka menjadi lahan pertanian.
Setelah Indonesia merdeka, kegiatan penebangan hutan terus berlanjut, terutama di pulau Jawa, di mana sekitar 500.000 hektar lahan (sekitar 17% dari total luas wilayah hutan) mengalami deforestasi, sehingga meningkatkan frekuensi banjir dan erosi tanah. Penebangan kayu di hutan menjadi masalah serius pada awal 70-an, seiring dengan kebijakan pemerintah meningkatkan laju ekonomi nasional. Kebijakan ini ditandai dengan keluarnya izin penebangan kayu untuk pengusaha di hutan pulau Jawa.
v  Hampir Dua Dasawarsa, 1975-1990
Pemasukan negara meningkat pesat sejalan kenaikan harga minyak dunia. Pemerintah juga menerima pemasukan keuangan dari sektor industri kayu melalui kebijakan penerbitan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Menurut data Departemen Kehutanan, 2005, hingga Juni 2000, wilayah hutan yang dikelola perusahan HPH mencapai 41 juta hektar.
Studi lainnya menyatakan bahwa pemerintah telah mengalokasikan lebih dari 60 juta hektar kepada perusahan HPH selama lebih dari 30 tahun dimana Provinsi Kalimantan Timur merupakan fokus utama dalam pelaksanaan kebijakan penebangan hutan. Oleh karena operasi penebangan perlu banyak tenaga kerja, pemegang HPH perlu mencari tenaga untuk bekerja di daerah terpencil. Program transmigrasi yang memindahkan penduduk dari Jawa dan Bali ke pulau lain, telah mendukung para pemegang HPH dengan penyediaan tenaga kerja untuk industri kayu sejak 1980-an. Program transmigrasi ini berdampak pada lingkungan. Lokasi transmigrasi dibuka dengan jalan membuka hutan yang dimanfaatkan pula sebagai lahan pertanian.
Kebakaran hutan besar terjadi pertama kali tahun 1982-1983 dan mengakibatkan kerusakan hutan yang semakin besar. Penyebab utama kebakaran adalah El Nino yang membakar hutan kurang lebih seluas 3,2 juta hektar dimana, 2,7 juta hektar dari luasan tersebut merupakan hutan hujan tropis paling penting di Kalimantan dan Sumatera. Tingkat kerusakan akibat kebakaran wilayah hutan berhubungan langsung dengan tingkat kerusakan hutan.
v  Sewindu berlangsung, 1990-1997
Penebangan hutan terjadi di luar kawasan menjadi perhatian utama pemerintah dalam hal pengelolaan. Penebangan umumnya dilatarbelakangi perubahan fungsi hutan secara besar-besaran untuk menjadi areal perkebunan seperti, kelapa sawit. Mengutip Kartodihardjo dan Supriono, 2000, Departemen Kehutanan mengeluarkan semakin banyak izin alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan, kurang lebih seluas 6,7 juta hektar sampai dengan tahun 1997. Diperkirakan akan terjadi defisit dan perubahan fungsi hutan seluas 1,6 juta hektar sebagai akibat dari rencana pemerintah memperluas areal perkebunan kelapa sawit melalui Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan pengembangan perkebunan lainnya yang memerlukan penambahan lahan seluas 9 juta hektar.
Akibat tekanan LSM dan kritik tajam dunia internasional atas ketidakberesan pengelolaan hutan Indonesia, operasi penebangan hutan secara intensif terus berlangsung selama periode ini. Pemerintah kemudian menyatakan komitmennya untuk mencapai hutan berkelanjutan sebelum tahun 2000. Sebagai contoh, pembentukan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang menetapkan penilaian pengelolaan hutan berdasarkan prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan. Kehadiran LEI telah mengakibatkan pencabutan izin pengusahaan hutan yang dianggap tidak memenuhi prinsip kelola hutan berkesinambungan.
v  Dari 1997 Hingga Usai Reformasi
Kebakaran hutan, pelaksanaan otonomi daerah berikut konsekuensinya, penebangan liar serta peningkatan kasus perambahan hutan merupakan faktor-faktor utama yang terus menyebabkan penebangan hutan. Kondisi ini mengancam keberlanjutan wilayah hutan Indonesia yang kurang lebih masih tersisa sekitar 120,35 juta hektar. Pada tahun 1997-1998, terjadi kebakaran hutan kedua yang merusak sekitar 9,8 juta hektar lahan termasuk wilayah hutan seluas 5,4 juta hektar yang sebagian besar terdapat di pulau Kalimantan dan Sumatera.
Tahun 1998 merupakan tahun penting dalam perubahan politik di Indonesia dan permulaan era reformasi setelah rezim Soeharto tumbang. Perubahan situasi politik ini diikuti semakin gencarnya tuntutan dari masyarakat atas manfaat dari hutan. Ditandai dengan peningkatan kasus perambahan hutan dalam kawasan hutan. Kasus konflik, seperti tuntutan yang tumpang tindih atas sumber daya hutan antara kelompok masyarakat dan pemerintah daerah atau perusahan kehutanan, sering terjadi hampir di setiap provinsi.
Perubahan paling siginifikan dari reformasi adalah berlakunya kebijakan otonomi daerah pada akhir 1998. Berbagai kebijakan membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan. Salah satu kebijakan tersebut memberikan izin hak pemanfaatan hutan seluas 100 hektar kepada kelompok masyarakat. Kegiatan penebangan kemudian dikelola secara intensif oleh masyarakat berdasarkan izin hak pemanfaatan hutan skala kecil yang dikeluarkan pemerintah daerah, di bawah kendali sistem desentralisasi, tanggung jawab pemerintah kabupaten lebih besar dibandingkan pemerintah provinsi dalam pengelolaan sumber daya hutan.
(Disarikan dari tulisan Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), Ani Adiwinata dan Staf Pusat Penelitian Sosial-Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Balitbang Departemen Kehutanan, Lukas Rumboko. Dalam buku ”Rehabilitasi Hutan di Indonesia : Akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa, 2008)


B.     Sejarah Hak Pengusahaan Hutan di Pulau Yamdena
Salah satu wilayah yang mempunyai potensi penghasil kayu hutan tropis adalah Pulau Yamdena, sebuah pulau terbesar dalam gugusan Kepulauan Tanimbar yang berada di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku. Pulau yang mempunyai luas 325.725 ha ini telah dilakukan eksploitasi oleh PT. Alam Nusa Segar dengan SK Menteri Kehutanan Nomor. 215/Kpts-II/1991 tanggal 23 April 1991 dengan luas 164.000 Ha. Kemudian di-addendum dengan SK Menteri Kehutanan Nomor. 1107/Kpts-II/1992 tanggal 12 Desember 1992 dan berganti nama PT. Yamdena Hutani Lestari dengan luas 160.725 Ha.  Dikarenakan perusahan Yamdena Hutani Lestari melakukan eksploitasi berlebihan maka perusahan ini dicabut oleh  Menteri Kehutanan dengan  SK pencabutan Nomor. 200/Menhut-II/2007 tanggal 16 Mei 2007.
            Keberadaan isu degradasi hutan di Pulau Yamdena telah berkembang dari kalangan masyarakat setempat, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), pemerintah daerah maupun instansi internasional (Uni Eropa, CIRAD Perancis dan Bird Life). Pada saat ini, isu yang diangkat terhadap degradasi hutan di wilayah ini mengarahkan kesalahan kepada pihak investor yang mengeksploitasi hutan berlebih dan juga pemerintah yang telah membagi tata ruang wilayah yang kurang tepat. Pada awalnya penetapan areal yang dapat dieksploitasi berpedoman pada Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang diterbitkan sekitar tahun 1980-an. Pada Tahun 2003 pemerintah daerah menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor.10 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat, yang merupakan adopsi dari Peta Kawasan Hutan dan Perairan Tahun 1999 (SK Menteri Kehutanan Nomor 415/Kpts-II/1999). Dengan Desakan dan masukan berbagai kalangan maka Bupati Maluku Tenggara Barat mengeluarkan Surat Keputusan Nomor.522071-Tahun 2006 tentang Usulan Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan Pulau Yamdena Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Kemudian disusul Surat Dukungan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara Barat Nomor.170/127/RDPR-MTB/IV/2006 tentang dukungan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara Barat terhadap Permohonan Penilaian hingga Pengesahan Usulan Perubahan Status Lahan dan Fungsi Kawasan Hutan Pulau Yamdena. 
            Keberadaan hutan di Pulau Yamdena merupakan aset yang perlu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan kayu dan pemenuhan pendapatan daerah setempat. Pengelolaan hutan harus dijalankan dengan kaedah profesional dengan pertimbangan kelestarian hasil maupun kelestarian lingkungan. Pertimbangan hal tersebut maka pemerintah membuka peluang lagi bagi investor untuk mengeksploitasi hutan Yamdena. Pada Tahun 2007 Gubernur Maluku memberi rekomendasi (Nomor.522.1126) kepada PT. Karya Jaya Berdikari (KJB) memanfaatkan hasil hutan kayu di wilayah Pulau Yamdena, begitu juga untuk Bupati Maluku Tenggara Barat lewat Surat Rekomendasi Bupati Nomor.522/093/Rek/2007 sedangkan Surat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Menteri Kehutanan dikeluarkan pada tanggal 19 Maret 2009 dengan SK.117/Menhut-II/2009.
Ada beberapa alasan mengapa pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat memberikan rekomendasi kepada PT. Karya Jaya Berdikari sebagai hak pengusahaan hutan di pulau Yamdena. Alasan itu bisa terungkap secara spontan, berdasarkan hasil pengamatan dan hasil wawancara bersama informan dapat di analisa sebagai berikut :
Yang saya ketahui ada tiga alasan pemerintah Kab. MTB kasih rekomendasi kepada PT. Karya Jaya Berdikari yakni alasan pertama : Penebangan hutan secara liar oleh masyarakat adat tak terkendalikan, alasan kedua : Dampak ekonomi dari eksploitasi hutan Yamdena oleh perusahan HPH, sangat signifikan terhadap peningkatan ekonomi kerakyatan, alasan ketiga :. Untuk peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).( Hasil wawancara dengan Wakil Bupati MTB (Bpk. P. Werbinan)
Dalam presprektif sosiologi seperti halnya di jelaskan oleh Weber bahwa tindakan Sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka. Hubungan sosial menurut Weber yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain.
Dalam hal ini pemerintah daerah memegang peranan penting atau mempunyai otoritas untuk mengeluarkan dan memberikan rekomendasi kepada PT. Karya Jaya Berdikari sebagai hak pengusahaan hutan di Pulau Yamdena, hal ini disebabkan karena atas dasar pertimbangan positif guna menyelamatkan dan mensejahterakan hajad hidup orang banyak (masyarakat MTB).
Proses masuknya hak pengusahaan hutan di desa Arma ialah sejak awal para kepala desa selaku pemilik hak ulayat dan PT Karya Jaya Berdikari melakukan penandatanganan bersama tanpa ada sosialisasi bagi masyarakat lantas perusahan ini melakukan aktivitas di hutan Yamdena secara diam-diam. 87 kepala desa secara terpaksa harus menandatangi persetujuan pengoperasian hak pengusahaan hutan di tahun 2009 lalu.
Kekuatan besar yang tidak dapat dibendung masyarakat yang dijuluki Duan Lolat, dengan tampuk kekuasaan yang menyedot sebagian pikiran rakyat terhadap dukungan penyebaran aktivitas penebangan hutan di pulau Yamdena yang jauh melangkahi aturan-aturan normatif pada tataran adat istiadat orang Tanimbar.
Seperempat areal hutan pulau Yamdena telah di keruk hasilnya oleh perusahan tersebut. Sejumlah alat berat yang beroperasi di Kecamatan Nirunmas, Petuanan Desa Arma, Alhasil, menimbulkan kontroversi dan ketegangan dari kalangan akar rumput, dan warga setempat yang punya perhatian terhadap masa depan pulau ini, terhadap generasi mendatang yang mendiami pulau ini.
Dari konsep izin lingkungan, analisis risiko lingkungan, audit lingkungan, prinsip pencemaran membayar (polluters must pay principle), dan sebagainya, diharapkan akan menjadi garda formal terdepan dalam mengawal pelestarian lingkungan, dan dibarengi dengan kesinambungan penerapannya sesuai aturan undang-undang. Hal membuat kalangan industri/perusahan semakin menciut nyalinya untuk mangkir terhadap kewajibannya selaku pengelola lingkungan/hutan. 
C.    Pengetahuan dan pandangan masyarakat Arma tentang Hak Pengusahaan Hutan
Pada prinsipnya pengetahuan manusia berbeda-beda satu dengan yang lain, begitu juga dengan masyarakat Desa Arma pengetahuannya pun berbeda-beda satu dengan lainnya baik antar individu maupun kelompok itu sendiri, dalam kaitannya dengan hak pengusahaan hutan. Untuk mengetahui tanggapan serta jawaban dari informan tentang pandangan masyarakat terhadap hak pengusahaan hutan sangatlah menarik untuk dicermati, ketika penulis bertanya apa dan bagaimana atau sikap masyarakat terhadap hak pengusahaan hutan maka informan mengatakan bahwa ;

Secara umum masyarakat Arma tidak mengerti tentang HPH, walaupun pernah mendengar HPH tapi tidak pernah mengerti tentang HPH itu sendiri. Karena masyarakat Arma punya pandangan terbatas tentang HPH itu sendiri. (Hasil wawancara dengan kepala Desa Arma, Bpk. J. Batkormbawa)

Setelah diwawancarai informan dengan memberikan alasan tentang pengetahuan masyarakat Arma secara umum terkait dengan hak pengusahaan hutan. Dengan gagasan tersebut maka ada upaya pemerintah Desa Arma dalam hal ini tim sepeuluh (tim yang mempunyai tugas dan fungsi untuk menjembatani kepentingan masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari) yang bekerja sama dengan PT. Jaya Karya Berdikari untuk mensosialisasikan hak pengusahaan hutan kepada masyarakat Arma. Dengan hadirnya tim sepuluh untuk mensosialisasikan hak pengusahaan hutan sangatlah menarik untuk untuk decermati.
Sebenarnya beta tidak paham tentang HPH itu sendiri, walaupun istilahnya suda tren dan lasim untuk beta dengar tapi beta tidak mengerti jelas tentang HPH. Makanya kerja keras dari pemerintah desa Arma untuk hadirkan orang-orang yang di anggap punya kemampuan dan mengerti betul tentang HPH untuk sosialisasi for katong samua. Tapi jujur ketika dong kasih sosialisasi tentang HPH katong semua langsung mengerti tentang HPH itu sendiri. (Hasil wawancara dengan Bpk. J. Akakip)

            Berdasarkan penjelasan informan diatas dikatakan bahwa pada umumnya masyarakat Arma tidak paham tentang hak pengusahaan hutan secara baik namun lewat sosialisasi yang dilakukan, ada pencerahan pandangan masyarakat tentang hak pengusahaan hutan itu sendiri. Dengan berbagai kontribusi pencerahan lewat sosialisasi maupun rapat umum hal ini tidak menjadi jaminan bagi masyarakat untuk tidak berkonflik namun sebaliknya terjadi kontraversi dalam masarakat sehingga muncul konflik sosial dalam masyarakat.Ketika penulis bertanya apa dan bagaimana atau sikap masyarakat terhadap hak pengusahaan hutan maka informan mengatakan bahwa ;
            Ya saya pribadi setuju ada HPH karena ternyata HPH masuk saya mendapat HP gratis dari perusahan bahkan juga kita dapat uang… kira-kira sapa mau kasih kita HP gratis dan ada cara untuk dapatkan uang..? (hasil wawancara dengan Bpk. Otis Feninlambir)

            Berdasarkan pandangan informan diatas maka dapatlah penulis jelaskan bahwa ternyata pengetahuan informan tentang hak pengusahaan hutan sangat terbatas hanya pada kebutuhan –kebutuhan mendesak yang bersifat pragmatis. Artinya informan tidak menyadari bahwa adanya hak pengusahaan hutan bagi kelestarian lingkungan hidup juga serta untuk masa depan anak cucu, kekurangan air tanah, ketandusan tanah dan sebagainya. Demikian juga dengan nilai keuntungan perusahan pemegang hak pengusahaan hutan yang ternyata ribuan kali dari pemilik hak petuanan yang berdasarkan pandangan tersebut hanya diberikan apa yang sepertinya menarik namun secara rasional sangat rendah nilai ekonomis maupun nilai sosialnya.
Selanjutnya ada juga kelompok informan yang ternyata secara terang-terangan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keberadaan hak pengusahaan hutan dan bahkan merekapun berani melakukan protes, perlawanan atau bahkan resistensi terhadap keberadaan hak pengusahaan hutan sebagaimana dapat penulis paparkan dalam hasil wawancara berikut :
            Oh saya tidak. Saya tolak keras keberadaan HPH karena kita ini masyarakat petani. Saat HPH masuk lahan kita makin sempit, hutan gundul dan kenyataannya sumber-sumber air juga menjadi kering. Akibatnya kita di Arma harus ambil air di kampung sebelah. Inikan pertanda satu bahaya besar. Artinya kalau sekarang saja kita sudah alami kesulitan demikian, apalagi keadaan anak cucu kita pada 5 atau bahkan 10 tahun mendatang.? Lalu kita lihat lagi tentang HPH masuk di Desa Wermatang, Desa Bomaki dan Desa Batu Putih dampaknya sangat sunguh luar biasa. Artinya hasil hutan di ambil habis oleh HPH, konflik dalam masyarakat adat, kesejahteraaan tidak di jamin oleh pemda maupun HPH. (Rangkuman hasil wawancara dengan beberapa informan yang secara tegas menolak keberadaan hak pengusahaan hutan di Desa Arma awal September hingga pertengahan September 2015)

Berdasarkan pandangan informan diatas maka ada beberapa hal penting dan mendasar yang ternyata melatarbelakangi sikap dan pandangan informan yang menolak keberadaan hak pengusahaan hutan di Desa Arma sebagai berikut :
1.      Ternyata informan merasakan kesulitan sebagai akibat dari lahan pertanian yang terasa semakin sempit. Hutannya sempit bahkan pertanian tersebut sesungguhnya melupakan sesuatu yang sangat rasional dan logis bagi cara bercocok tanam orang Arma maupun Tanimbar umumnya. Karena sistem pertanian mereka selalu mengunakan pada sistem perladangan berpindah sehingga penguasaan hutan (HPH) oleh PT. Karya Jaya Berdikari menjadi sebuah ancaman utama bagi kebiasaan dan sistem perladangan berpindah yang ada di Desa Arma.
2.      Kesulitan air bersih disadari menjadi ancaman serius bagi kehidupan masyarakat Arma. Informan benar-benar sadar dan tahu persis bahwa air merupakan hal penting dan sejak hak pengusahaan hutan masuk dampak kekurangan air bersih langsung terasa dalam kehidupan masyarakat Arma.
3.      Demikian informan sadar bahwa dalam kenyataannya sejak hak pengusahaan hutan banyak dan sering terjadi konflik di Desa Arma sendiri baik konflik yang bersifat vertikal antara masyarakat  dengan PT. Karya Jaya Berdikari maupun konflik yang bersifat horizontal antara kelompok masyarakat pro dan kelompok masyarakat kontra. Dan ini adalah situasi yang sangat tidak dikehendaki oleh informan.
4.      Melirik kembali kebelakang ternyata kehidupan sosial masyarakat di Desa Wermatang, Desa Bomaki, Desa Batu Putih di tahun 90-an dengan keberadaan hak pengusahaan hutan di petuanan hukum adat masing-masing desa tersebut  merupakan dasar tolak masyarakat dengan keberadaan hak pengusahaan hutan di Desa Arma saat ini.

D.    Identifikasi Kelompok Pro dan Kontra Hak Pengusahaan Hutan di Desa Arma

a.      Kelompok Pro (Menyetujui) dan Kelompok Kontra (Menolak)

Secara umum dapat di gambarkan bahwa dalam pengolahan hutan oleh hak pengusahaan hutan di sejumlah daerah di Indonesia (Maluku) selalu saja terjadi konflik sosial, hal ini di akibatkan terjadinya kontraversi antara masyarakat setempat sebab ada masyarakat yang menyetujui dan tidak menyetujui hak pengusahaan hutan beroperasi di hak ulayatnya.
Secara singkat dikatakan bahwa masuknya hak pengusahaan hutan di Desa Arma pada tahun 2011, hal ini berawal dari penandatangan kepala Desa Arma pada lembaran kesepakatan kerja sama masyarakat Arma dengan  PT. Karya Jaya Berdikari di tahun 2009 silam.
1.      Kelompok Pro (menyetujui) Hak Pengusahaan Hutan
Secara umum setiap indivdu atau kelompok mempunyai alasan untuk melakukan segala sesuatu dibalik tindakannya sehingga apa yang menjadi prioritas pertamanya bagian dari pada pilihannya. Sangat menarik ketika melihat kondisi sosial masyarakat Arma dengan adanya hak pengusahaan hutan untuk mengeksploitasi hak ulayat masyarakat maka dapat dicermati lewat tanggapan dan respon dari informan berikut ini.
Menurut saya kalau katong lihat sama-sama menyangkut operasi HPH di Desa Arma sebetulnya masyarakat dong harus mengerti bahwa HPH itu bagus karena secara tidak langsung katong di beri kesempatan untuk kerja di perusahan lalu adanya bantuan dari perusahan untuk Desa Arma. Kalau bukan perusahan berarti Desa Arma ini tidak ada perkembangan sama sekali. (Hasil wawancara dengan Bpk. Oto Siletty)

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan bahwa masyarakat yang menyetujui masuknya hak pengusahaan hutan di Desa Arma karena minimnya pengetahuan masyarakat Arma tentang hak pengusahaan hutan, adanya kesempatan kerja serta peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar. Namun ada sisi lain yang menarik untuk mengoda masyarakat menerima hak pengusahaan hutan untuk beroperasi. Dapat di simak dengan perbincangan informan berikut ini.

Menurut saya tentang menyetujui masuknya PT. Karya Jaya Berdikari untuk mengeksploitasi hasil hutan yaitu adanya negosiasi PT. Karya Jaya Berdikari dengan masyarakat Arma, dengan butir-butir kesepakan sebagai berikut;
1.      Kompensasi dari PT. Karya Jaya Berdikari kepada masyarakat Arma
2.      Pengadaan sarana penerangan
3.      Asrama mahasiswa
4.      Beasiswa bagi masyarakat Arma yang lanjut S2
5.      Perekrutmen tenaga kerja
6.      Air bersih
7.      Reboisasi
8.      Perbaikan Infrastruktur
9.      Tanggung jawab terhadap anak-anak Arma yang ingin tes Polisi maupun Tentara
(Hasil wawancara dengan tim 10 Bpk. Poly. Masela)

Dengan demikian pada diskusi diatas dapat di simpulkan bahwa ada maksud tertentu individu atau kelompok masyarakat yang menyetujui hak pengusahaan hutan untuk mengeksploitasi hak petuanan masyarakat Arma karena individu atau kelompok yang menyetujui mendapat perhatian penuh dari PT. Karya Jaya Berdikari.
Seperti pada Teori Pertukaran Sosial oleh George C. Homans dikatakan bahwa “Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi”, Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang maka makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut di ulangnya kembali. Letak pembeda utama teori Homans ini memiliki tiga ciri:
1.      Pertama, Dasar dari perilaku sosial itu pada pokoknya ialah proses pertukaran perilaku.
2.      Kedua, perilaku sosial pada dasarnya berjalan secara alami dan spontan muncul pada saat mengadakan interaksi.
3.      Ketiga, perilaku sosial pada dasarnya disebut dyad pada group kecil dan ini merupakan pondamen dasar dari hubungan sosial yang lebih besar.
Teori pertukaran sosial menelaah kontribusi seseorang dalam suatu hubungan mempengaruhi kontribusi orang lain. Dengan mempertimbangkan konsekuensi, khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang telah dilakukan, orang akan memutuskan untuk tetap tinggal dalam hubungan tersebut atau meninggalkannya.
Hubungan masyarakat yang menyetujui masuknya hak pengusahaan hutan dengan PT. Karya Jaya Berdikari melalui sebuah proses interaksi sosial dalam membangun hubungan. Pola-pola perilaku dalam interaksi sosial, hanya akan langeng jika semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Seiring dengan pro hak pengusahaan hutan sehingga penulis bertanya apa dan bagaimana atau sikap masyarakat pro terhadap hak pengusahaan hutan maka informan mengatakan bahwa :
Bukan saja negosiasi baru saya terima HPH tapi kalau mau dilihat bahwa HPH itu merupakan basis keuntungan masyarakat Arma, tergantung katong lihat peluang mana yang cocok untuk katong jadikan HPH sebagai modal usaha. Contoh saja di tahun ini (2015) masyarakat Arma melakukan salah satu kegiatan menyongsong 17 Agustus, bantuan dana maupun mobil itu katong dapat semua  dari HPH. (hasil wawancara dengan Sdr. Jems Luturmas).

Berdasarkan pandangan informan diatas maka penulis dapat jelaskan bahwa yang menjadi tolak ukur untuk masyarakat pro hanya melihat pada kebutuhan dan keuntungan jangka pendek atau kepentingan semata, tidak melihat pada hal-hal yang sifatnya prinsipil yang dapat merugikan masyarakat pada saat ini maupun masa yang akan datang.

2.      Kelompok Anti (Menolak) Hak Pengusahaan Hutan
Secara kasat mata dapat lihat bahwa perjuangan menolak hak pengusahaan hutan bukan hanya sekedar perjuangan sepeleh namun perjuangan untuk menolak hak pengusahaan hutan adalah perjuangan sangat sungguh luar biasa. Upaya-upaya yang dilakukan masyarakat Arma untuk menolak hak pengusahaan hutan di Desa Arma merupakan suatu usaha yang menguras tenaga, waktu, biaya dan lain sebagainya. Sangat menarik ketika didiskusikan hal ini dengan informan.
Pada prinsipnya masyarakat tidak mengerti dan mengetahui persis apa sebenarnya HPH itu sendiri, sehingga mudah sekali di pengaruhi oleh pihak ketiga (tim 10 orang Arma yang berdomisili di kota Saumlaki) yang memberikan informasi serta memprofokasi masyarakat sehingga masyarakat dapat menerima dan menyetujui masuknya perusahan untuk beroperasi, karena cara yang digunakannya ialah janji-janji manis (penerangan, pengadaan asrama mahasiswa, beasiswa bagi mahasiswa, kopensasi untuk setiap keluarga, perbaikan infrastruktur, pengadaan air bersih dan lain sebagainya) yang membuat sehingga masyarakat merasakan bawah ada sesuatu yang luar biasa demi kepentingan dan kemajuan masyarakat Arma secara umum dan pribadi secara khusus. Atas dasar inilah sehingga sebagian besar masyarakat Arma menerima PT. Jaya Karya Berdikari untuk beroperasi atau mengeksploitasi hasil hutan (hak ulayat) milik masyarakat tersebut. Sangat kasihan kalau masyarakat Arma itu terima HPH, coba lihat kembali ke belakang tentang HPH di Pulau Yamdena, terlebih khusus di Desa Wematang, Desa Bomaki yang waktu itu HPH beroperasi di lokasi tersebut, apakah masyarakat sejahtera.? Malahan dong biking masyarakat bakalai satu sama lain. (hasil wawncara dengan Bpk. J. Tuarlela)

Dalam diskusi penulis dengan informan di sampaikan bahwa “Melirik kembali kebelakang pada masa memprotes dan mengusir hak pengusahaan hutan dari Pulau Yamdena dengan berbagai alasan yang rasional maupun tidak rasional, di-era tahun 90-an Masyarakat Adat di Pulau Yamdena yang mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat telah melakukan aksi brutal (serang menyerang antara masyarakat adat dengan karyawan perusahan dan dengan TNI-POLRI) sebagai ungkapan protes dan penolakan terhadap aktivitas Perusahan hak pengusahaan hutan di Pulau Yamdena. Seluruh aktivitas eksploitasi hutan Yamdena oleh Perusahan HPH akhirnya berhenti pada Tahun 1999, akibat dihentikan paksa oleh Masyarakat Adat dengan dukungan dari Lembaga Agama, Organisasi Kepemudaan, Organisasi Masyarakat, NGO dan para Cendikiawan asal Tanimbar.”
            Dalam situasi dan kondisi masyarakat Arma dengan hadirnya hak pengusahaan hutan maka dapat di berikan keterangan tentang alasan individu atau kelompok masyarakat Arma yang menolak hak pengusahaan hutan berikut ini :
            Satu hal ade musti tahu bahwa, masyarakat kecil (masyarakat Arma) tidak bisa melawan dua hal ini yakni pengusaha dengan penguasa kalau tidak ada dukungan dari semua pihak. Kami sangat menolak HPH masuk di Desa Arma ini, kenapa demikian karena katong pu hutan itu masih perawan, dan itu hutan adat lalu masyarakat Arma inikan masyarakat petani yaitu sistim pertanian itu berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain jadi mau tidak mau kami tetap optimis untuk tolak dan lawan. Makanya ada aksi-aksi yang katong buat baik itu demo maupun bakar camp perusahan. (Hasil wawancara dengan Sdr. Kristian Batkormbawa)

Jelaslah bahwa yang menjadi harga mati untuk kelompok masyarakat Arma menolak hak pengusahaan hutan ialah pertama, masyarakat Arma adalah masyarakat yang latarbelakangnya petani, sehingga sistem perladangan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, kedua, kebutuhan hidup masyarakat Arma terbatas (tidak diberi kebebasan untuk mengolah hutan secara bebas) karena hak ulayat di ambil alih oleh hak pengusahaan hutan, ketiga, mengingat generasi berikutnya untuk melanggsungkan hidup keempat, mengingat musim kemarau terjadi kekeringan di Desa Arma dan apabila ingin mengambil air untuk kebutuhan rumah tangga dan sebagainya harus di tempuh jarak 1 Km atau lebih. Jika penebangan di lakukan berlebihan maka terjadi pembunuhan jangka panjang bagi masyarakat Arma itu sendiri. Sejalan dengan masyarakat kontra hak pengusahaan hutan maka ada tangapan dan jawaban dari informan berikut ini :
Sejujurnya saya sampaikan bahwa saya ini orang yang paling binci hak pengusahaan hutan.Kenapa.? Karena HPH itu sepertinya Belanda jajah Indonesia yang mana hasil-hasil hutan di bawah oleh penguasa hutan. Bukti sekarang saja ada perjanjian yang di buat antara kedua bela pihak (masyarakat Arma dengan PT. Jaya Karya Berdikari) masyarakat lapang dada terima tapi realisasi dari janji-janji manis itu tidak ada yang berjalan bagus. Contoh saja pihak HPH kasih bantuan untuk orang Arma, macam kasih gula-gula untuk anak-anak kecil. (Hasil wawancara dengan Sdr. Isak Jambormias)

Sesuai dengan pandangan diatas maka penulis menarik kesimpulan bahwa informan secara gigi dan terang-terangan menyatakan sikap penolakan terhadap keberadaan hak pengusahaan hutan di petuanan masyarakat hukum adat. Berbagai landasan pemikiran antara kelompok yang pro dan kontra masuknya PT. Jaya Karya Berdikari maka terjadilah konflik horizontal antara kelompok pro dan kelompok kontra. Kenyataan di lapangan membuktikan bawah kelompok yang menerima HPH adalah rata-rata stack holder atau para pemandu kepentingan di masyarakat Arma (pemerintah Desa, tua-tua adat dan sebagian masyarakat) yang di rangsang oleh strategi PT. Karya Jaya Berdikari (memberikan upah) untuk memanfaatkan kelompok ini sebagai basis kekuatan untuk mengamankan situasi dan kondisi ketegangan yang terjadi dalam masyarakat guna melancarkan proses eksploitasi hasil hutan terlepas dari keamanan aparat pemerintah (TNI, POLRI).

b.      Konflik Sosial
Konflik merupakan fenomena sosial yang sangat lazim ditemukan di berbagai lapisan masyarakat. Pada masyarakat dengan tingkat diversity yang tinggi membuka ruang untuk terjadinya konflik. Konflik komunal yang terjadi di Indonesia ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Artinya, tidak serta merta bahwa konflik tersebut masih merupakan konflik yang didasarkan pada perbedaan identitas kelompok (etinis, suku, agama).
Konflik yang terjadi pada masyarakat, berdasarkan analisa dari beberapa peneliti menunjukkan adanya intervensi elit, sehingga realitas konflik tersebut sepertinya tumpang tindih dan sulit membedakan apakah konflik tersebut merupakan konflik yang disengajakan oleh para elit atau memang konflik murni yang terjadi antar anggota masyarakat berdasarkan kepentingannya. Sebaliknya, bisa terjadi bahwa konflik yang terjadi di dalam masyarakat ditunggangi sedemikian rupa untuk kepentingan elit yang dapat menjurus kepada conflict violence yang lebih dahsyat.
Konflik bisa bersifat langsung maupun tidak langsung. Lewis A.Coser membedakan konflik dalam dua bagian yaitu konflik bersifat realistik dan non realistik. Suatu  konflik itu bersifat realistik kalau sasaran konflik itu jelas dan menurut perhitungan kedua belah pihak yang berkonflik, dapat dicapai dengan cara-cara tertentu. Konflik semacam ini, permusuhan, pertikaian akan rendah kalau tujuannya tercapai. Selanjutnya Coser mengatakan, dalam konflik seperti ini apabila salah satu pihak yang kalah akan tetap merasa dirugikan, sehingga keputusan akhir diterima, pihak kalah masih berada dalam posisi konflik. Sementara dalam keadaan dimana belum tercapainya keputusan akhir terhadap pihak yang kalah atau menang, konflik yang berkepanjangan. Konflik itu bersifat non realistik apabila kedua belah pihak yang terlibat dalam pertikaiaan atau konflik mempunyai sasaran untuk mencapai tujuan yang sangat sulit dicapai, terutama yang menyangkut nilai-nilai inti ( core values ). Dalam konflik seperti ini, pihak-pihak yang terlibat konflik cendrung emosional, bertindak membabi buta tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi dibalik konflik itu. Selanjutnya Coser mengatakan, konflik nonrealistik cendrung berulang, tanpa dapat diantisipasi, sulit berhenti dan sering pula berlangsung lama, karena nilai inti itu pada dasarnya tidak dapat dikompromikan. Sikap permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial dapat berimplikasi pada terjadinya tindakan tertentu. Konflik bisa bersifat langsung maupun tidak langsung. Sebagaimana digambarkan oleh Lewis A.Coser, bahwa konflik atau pertentangan antara individu atau kelompok tidak lain adalah untuk memperoleh status, kekuasaan pengaruh dan sumber daya.
Sangat menarik untuk di cermati dengan tanggapan serta jawaban dari informan berikut ini tentang konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat Arma.

Secara umum konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat Arma yaitu konflik di dalam masyarakat dalam hal ini kelompok masyarakat yang setuju HPH kerja dengan kelompok masyarakat yang tidak menyetujui HPH kerja. (Hasil wawancara dengan dosen pertanian Bpk. E. Jambormias)

v  Bagan Konflik Horizontal – Vertikal Dalam Masyarakat Arma










Berdasarkan bagan konflik sosial pro dan anti masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari sesunggunya ada dua konflik fundamental yang terjadi, pertama konflik horizontal atau konflik internal masyarakat Arma) dan yang kedua konflik vertikal atau konflik eksternal antara masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari.

a.      Konflik Horizontal
Konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi dalam lingkaran masyarakat setempat, Konflik horizontal adalah konflik antara individu maupun kelompok yang biasa terjadi diantara individu atau kelompok yang memiliki status sosial yang sama. Konflik yang terjadi diantara sesama kelas, strata, nasib atau derajat yang sama. Konflik horizontal juga dapat di kelompokan menjadi konflik horizontal searah dan konflik horizontal berlawanan yakni :
1.      Konflik Horizontal Searah yaitu konflik yang terjadi dalam masyarakat yang mempunyai tujuan yang sama sehingga masing-masing orang atau kelompok tertentu mempunyai perjuangan yang sama untuk mendapatkan hasil yang sama pula.
Dalam situasi dan kondisi masyarakat Arma dengan hadirnya hak pengusahaan hutan  untuk mengeksploitasi hak ulayat masyarakat Arma memunculkan insiden bagi masyarakat setempat. Namun demikian dalam upaya untuk menjaga keseimbangan keuntungan dan kesejahteraan masyarakat Arma sehingga muncul sikap saling memuaskan satu dengan yang lain maka ada sebuah usaha untuk kebutuhan tersebut sehingga sebagian masyarakat yang mempunyai kesamaan pendapat dapat memperjuangkan tujuannya. Misalnya memperjuangkan untuk pembebasan lahan pertanian, perjuangan untuk menyelamatkan hajad hidup orang banyak terlebih khusus generasi berikutnya, perjuangan untuk mengusir hak pengusahaan hutan dan lain sebagainya.
2.      Konflik Horizontal Berlawanan yaitu kebalikan dari konflik horizontal searah bahwa konflik yang terjadi dalam masyarakat dengan tujuan yang berbeda sehingga masing-masing individu atau kelompok tertentu tidak akur satu dengan yang lain.
Konflik tersebut terjadi dalam waktu dan kondisi yang sama namun dengan kepentingan yang berbeda (kepentingan selegintir orang) menciptakan potensi konflik yang besar di balik itu terjadi kontraversi antar individu atau kelompok sehingga kesolidaritasan masyarakat setempat tengelamkan oleh kepentingan itu sendiri.
Misalnya keinginan untuk terlibat dalam kelompok atau tim untuk menjembatani kepentingan masyarakat Arma dengan hak pengusahaan hutan, mendapat status sosial dan kesempatan untuk memainkan peran serta kesempatan kerja bagi individu atau kelompok tertentu.
Yang menjadikan konflik horizontal dalam masyarakat Arma ini dasarnya dari kepentingan segelintir orang semata, karena beta lihat selama ini hanya kelompok-kelompok tertentu saja yang selalu membuat honor, selalu memprovokasi individu atau kelompok satu dengan lainnya tujuannya untuk mendapatkan keuntungan karena mereka-mereka ini jadikan HPH sebagai basis keuntungan. (Hasil wawancara dengan Bpk. Isak. Jambormias)
           
            Menyimak pandangan informan diatas bahwa Konflik horizontal (Searah atau Berlawanan) merupakan kategori konflik internal yakni konflik yang terjadi hanya dalam masyarakat Arma seperti yang di katakan oleh Coser bahwa konflik internal adalah konflik yang sering terjadi dalam kelompok internal itu sendiri sehingga memperlemah ruang solidaritas diantara mereka.
b.      Konflik Vertikal
Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan, kewenangan dan status sosial berbeda. Konflik vertikal dapat di bagi menjadi konflik vertikal searah dan konflik vertikal berlawanan.
1.      Konflik vertikal searah merupakan konflik yang berlangsung pada sebuah kelompok atau masyarakat setelah munculnya sebuah kesadaran atas sesuatu yang telah terjadi yang sebelumya belum pernah di pikirkan terlebih dahalu.
Konflik ini terjadi dalam waktu yang bersamaan dengan konflik vertikal berlawanan namun mempunyai tujuan yang berbeda. Lebih fokus kepada prinsip dan komitmen masyarakat. Misalnya gerakan sosial masyarakat Arma untuk memusyawarahkan aspirasi masyarakat lewat pertemuan bersama masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari dengan berujung pada kesepakatan atau negosiasi.
2.      Konflik vertikal berlawanan yaitu konflik yang terjadi pada individu atau kelompok tertentu baik itu muncul berdasarkan sebuah kesadaran maupun tidak dengan mempertahankan prinsip awalnya guna mencapai tujuan tersebut yakni mendapatkan keuntungan.
Konflik ini terjadi ketika salah satu pihak (masyarakat Arma) merasa dirugikan oleh hak pengusahaan hutan sehingga memunculkan konflik. Konflik muncul ketika ada musyawarah dan mufakat antara hak pengusahaan hutan dengan masyarakat Arma, namun dalam implementasinya nihil sehingga pihak yang lain (masyarakat Arma) melakukan aksi gerakan sosial dengan tindakan perlawanan terhadap karyawan hak pengusahaan hutan, pembakaran basc camp perusahan dan sebagainya.  Seperti yang dijelaskan weber lewat empat tipe tindakan sosial salah satunya Tindakan afektif yaitu tindakan ini bersifat spontan, tidak rasional dan merupakan refleksi emosional dari individu atau dengan kata lain tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor
Ada hubungan sebab - akibat konflik sosial yang terjadi antara masyarakat Arma dengan HPH kenapa demikian, karena salah satu pihak merasa dirugikan dan pihak yang lain merasa diuntungkan atau tidak ada keseimbangan dalam hubungan dibangun  jadi mau tidak mau konflik ini tetap ada. (Hasil wawncara dengan Bpk. Topi Jambormias)

            Dengan tanggapan dan jawaban dari informan diatas dapat dikatakan bahwa konflik vertikal (searah/berlawanan) merupakan konflik eksternal seperti dijelaskan oleh Coser bahwa konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, sehingga dapat memperkuat masing-masing kelompok yang bertikai. Kemudian konflik yang terjadi juga bukan secara individu tetapi secara berkelompok, maka Lewis Coser berpandangan bahwa konflik sering memperkuat dan mempertegas batas kelompok dan meningkatkan penggalangan solidaritas internal kelompok. Konflik antara kelompok merupakan penghadapan antara in –group dan out-group.
            Ketika konflik terjadi, masing-masing anggota dalam satu kelompok akan meningkatkan kesadaran sebagai sebuah kelompok (in-group) untuk berhadapan dengan kelompok lain (out-group). Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial lainnya (Poloma, 1987:108). Ketika ada ancaman dari luar maka kelompok tidak mungkin memberikan toleransi pada perselisihan internal. 

c.       Kesadaran Sosial Masyarakat Arma
Pada suatu titik tertentu akan muncul suatu kesadaran sosial yang berupa kebangkitan atas apa yang terjadi selama ini. Kemunculan kesadaran sosial ini bisa saja menimbulkan suatu konflik atau suatu pembangkangan dan perlawanan. Demikian juga sebaliknya akan menyatukan terbangunnya kesadaran sosial yang menjadi power bagi suatu pembangunan atau terwujudnya keteraturan sosial. Kesadaran sosial yang dibangun berdasar pada edukasi dan kecerdasan maka akan mampu mendorong dan membangun keteraturan dengan situasi tanpa konflik fisik dan merupakan tangungjawab aparat penyelenggara negara. Namun sebaliknya kesadarian sosial yang bangkit atas situasi yang membodoh - mebodohi mereka apalagi karena terlalu mengeksploitasi rakyatnya sehinga menimbulkan berbagai kesengsaraan, maka cepat atau lambat akan terjadi konflik sosial yang begitu besar bahkan mungkin chaos. Seperti halnya pada kondisi sosial masyarakat Arma dengan berbagai perubahan dalam kehidupan bermasyarakat maka muncullah sebuah kesadaran masyarakat tersebut, sangat menarik ketika mendengar respon dan jawaban dari informan berikut ini :

Saya lihat selama ini banyak hal terjadi dalam masyarakat Arma, kenapa demikian, coba katong bandingkan saja sebelum dan sesudah HPH itu masuk di desa tercinta ini. Awalnya sebelum HPH masuk katong hidup ini aman dan nyaman setelah awal HPH masuk katong lihat apa yang terjadi, ternyata terjadi keributan sana sini, orang basudara itu nomor tiga di banding orang HPH. Orang Arma tidak kenal saudara hanya kenal uang dan perusahan. Saya sangat kasihan sekali. Masyarakat banyak lebih pilih HPH masuk daripada tolak HPH. Skrang buktinya apa HPH tidak tepati janji. Makanya sekrang masyarakat Arma sadar lalu dong mau buat gerakan untuk tolak HPH su terlambat makanya masyarakat hanya bisa buat gerakan-gerakan kecil-kecilan untuk dapat keuntungan sedikit dari perusahan saja. (Hasil wawancara dengan tokoh adat Bapak. Yafet Masela)

Sesuai dengan pandangan informan diatas dapat dijelaskan secara terperinci bahwa kesadaran sosial muncul ketika adanya keterasingan dalam masyarakat itu sendiri. Kesadaran sosial bisa juga membangkitkan solidaritas. Pada kesadaran sosial yang dasarnya adalah kecerdasan dan paraoduk dari transformasi maka akan memajukan dan meningkatkan kualitas di segala bidang. Kesadaran tersebut merupakan suatu legitimasi atau kepatuhan atas penghargaan atau dukungan terhadap terselenggaranya tata kehidupan sosial. Yang secara signifikan dirasakan manfaatnya dalam upaya-upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Namun sebaliknya bila kesadaran yang timbul akibat ketidak percayaan, atau akibat perasaan yang tidak nyaman atau menganggap kinerja penyelenggara tata kehidupan sosial yang masa bodoh dan tidak menunjukan upaya-upaya peningkatan kualitas hidup ini akan menjadi suatu upaya ketidak percayaan, perlawanan, pembangkangan dan hilangnya legitimasi.
Kesadaran sosial yang muncul karena kesengsaraan, kesewenang-wenangan, tindakan yang apatis aparat dan pemerinta akan berdampak pada timbulnya konflik sosial dan akan terjadi berbagai tuntutan terhadap penguasa atau para penyelenggara pemerintahan atau pihak-pihak yang mereka anggap tidak becus menyelenggarakan tugasnya.
Kesadaran sosial merupakan bagian dari peradaban bangsa untuk dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang. Tatkala kesadaran sosial dibangun dari edukasi dan tangung jawab serta kinerja yang sinergis antar pemangku kepentingan, maka akan menghasilkan suatu keteraturan sosial. Namun jika sebaliknya kesadaran sosial yang terbangun karena ketidak puasan, kesewenang-wenangan, ancaman, berbagai tindakan penyelenggara kehidupan sosial yang tidak menyenangkan maka yang terjadi adalah perlawanan. Tatkala perlawanan tersebut sebagi soft power sebagi gerakan moral yang anti anarkis atau gerakan damai akan membangun suatu solidaritas. Tatkala perlawanan menjadi suatu yang anarkis maka yang terjadi adalah sebuah solidaritas yang akan merusak tata kehidupan sosial yang rehabilitasinya memakan waktu dan proses yang cukup panjang. Manakala tidak berhasil akan berujung kehancuran.

E.     Perubahan Sosial Masyarakat
Hal ini secara langgsung memberikan gambaran secara universial terkait dengan perubahan-perubahan yang sifatnya positif dan negatif yang terjadi pada masyarakat lokal yang di pandang dari segi sosial, segi budaya, segi ekonomi, dan serta segi ekologi.
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan, karena tidak ada masyarakat yang bersifat statis. Perubahan tersebut ada yang sedikit ada juga yang banyak, ada yang cepat dan ada juga yang lambat. Pengaruh kebudayaan hanya dapat diketahui oleh seorang yang sempat mengadakan penelitian susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu tertentu yang kemudian dibandingkan dengan waktu yang lain.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat menimbulkan ketidaksesuain antara unsur-unsur sosial yang ada dalam masyarakat, dengan kata lain perubahan-perubahan ketidaksesuain di antara unsur –unsur sosial yang saling berbeda dalam masyarakat sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak serasi sosial, akan merubah struktur dan fungsi dari unsur-unsur sosial dalam masysrakat. Dengan demikian perubahan dalam masyarakat mengandung pengertian ketidaksesuain di antara unsur-unsur sosial yang saling berbeda dalam masyarakat sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan.
Perubahan tersebut dapat mencakup pada aspek yang sempit maupun yang luas. Perubahan pada aspek sempit dapat meliputi aspek prilaku dan pola berpikir setiap individu, sedangkan perubahan pada aspek yang luas dapat meliputi perubahan dalam tingkat struktur masyarakat yang nantinya dapat mempengaruhi perkembangan masyarakat di masa yang akan datang.
Kondisi diatas terjadi pula dalam pemanfaatan sumber daya hutan di Desa Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Di mana persoalan hak atas lahan hutan yang merupakan bagian terpenting dari kehidupan masyarakat lokal seringkali merupakan potensi konflik. Kegiatan HPH seperti penebangan kayu secara besar-besaran untuk kebutuhan industri pengolahan kayu telah menimbulkan kemerosotan mutu lingkungan yang diderita masyarakat lokal. Terancamnya kelestarian sumberdaya air bagi masyarakat lokal akibat kerusakan hutan, polusi air dan udara yang disebabkan oleh industri pengolahan kayu telah mengancam kondisi kehidupan masyarakat lokal. Masyarakat lokal boleh dikatakan tidak ikut menikmati hasil dari pemanfaatan hutan, tetapi harus menanggung dampak negatifnya, hal ini memicu perlawanan masyarakat lokal terhadap pengusaha HPH  (Saragih, 2001).
Selain persoalan hak atas lahan hutan di Desa Arma, ini juga didasarkan pada kondisi masyarakat setempat yang masih mengakui nilai-nilai adat atau kearifan lokal dalam menata pergaulan bersama dan juga upaya untuk melesatarikan hutan menurut adat/tradisi masyakarat setempat. Hal mana hutan menurut mereka masih dianggap sebagai suatu potensi yang hingga kini sangat membantu dalam upaya meningkatkan taraf kehidupan masyarakat setempat. Di mana tersedia berbagai jenis hasil hutan kayu maupun bukan kayu yang dapat dikelola guna menunjang kehidupan mereka setiap hari, dan itulah yang menjadi tumpuan mereka sehingga berbagai pihak termasuk masyarakat setempat senantiasa berupaya untuk memanfaatkan atau mengejar keuntungan ekonomi dari potensi yang tersedia di Desa Arma.
Untuk mengetahui tanggapan serta jawaban masyarakat terkait dengan perubahan sosial masyarakat maka dapat di cermati sebagai berikut;
Kalau bicara perubahan ya tentu pasti ada perubahan-perubahan, beta sendiri lihat kondisi masyarakat Arma dengan HPH masuk untuk beroperasi ini terjadi perubahan paling banyak sekali dan perubahan itu akan tidak dari satu aspek saja tapi dari berbagai aspek. Misalnya aspek ekonomi, lingkungan, budaya dan seterusnya. (hasil wawancara dengan Bpk. Tian Siletty)

Dengan penjelasan informan di atas, bahwa pada prinsipnya terjadi perubahan-perubahaan dalam kehidupan sosial masyarakat Arma, perubahan-perubahan tersebut berupa :
1.      Distorsi atau pengikisan terhadap hubungan sosial
2.      Konflik internal (antara kelompok pro dan kontra)
3.      Konflik eksternal (masyarakat Arma dengan PT. Jaya Karya Berdikari),
4.      Pergeseran pekerjaan (petani menjadi tenaga kerja perusahan),
5.      Cara pandang masyarakat berbeda-beda terhadap sistem kerja yang di terapkan oleh HPH sehingga mengikis nilai-nilai sosial budaya dalam masyarakat
6.      Fungsi sosial berubah menjadi fungsi ekonomi karena semakin tinggi kebutuhan
7.      Persekutuan keluarga dan tanggung jawab bersama kelompok keluarga dalam menyelesaikan suatu masalah mulai bergeser pada logika hubungan sosial yang bersifat rasional,
8.      Kalkulasi untung rugi yang sebelumnya tidak pernahh ada kian menjadi bagian dari praktek hubungan sosial masyarakat Arma,
9.      Uang memegang peranan cukup penting dalam menata pembangunan sosial masyarakat Arma.
10.  Pendapatan pada masyarakat lokal tidak statis
11.  Dampak teknologi modern yang digunakan HPH merubah nilai-nilai budaya,
Pada dasarnya sebagian besar masyarakat Arma merupakan masyarakat petani, terlepas dari pada nelayan yang hidupnya tergantung pada alam. Kehidupan pada masyarakat di dukung dengan Norma-Norma dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat setempat sehingga masyarakat hidup teratur, dengan berbagai aturan yang ada masyarakat pun dapat memahami dan mentaati aturan tersebut. Terlepas dari kehidupan keteraturan tersebut terjadi pergeseran norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya ketika masuknya PT. Karya Jaya Berdikari sebagai pengelolah hak pengusahaan hutan (HPH) di Pulau Yamdena khususnya di Desa Arma yang membuat sehingga terjadinya kontrafersi dan perubahan dalam masyarakat Arma.
Menurut Farley dalam Piotr Sztompaka menyebutkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan pada pola perilaku, hubungan sosial, lembaga, dan struktur sosial pada waktu tertentu. Dengan maksud tertentu secara tidak langsung digambarkan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat Arma terdegradasi dengan hadirnya hak pengusahaan hutan. Sehingga perubahan sosial terjadi dalam semua segi kehidupan masyarakat, yakni :
a.       Perubahan dalam cara berpikir dan interaksi sesama warga menjadi semakin rasional
b.      Perubahan dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi menjadi semakin komersial
c.       Perubahan pada cara kejra sehari-hari semakin di tandai dengan pembagian kerja spesialisasi kegiatan yang makin tajam
d.      Perubahan dalam kelembagaan dan kepemimpinan dalam masyarakat yang semakin demokratis
e.       Perubahan dalam tata cara dan alat-alat kegiatan yang makin modern dan efisien, dan lain-lainnya

F.     Dampak Sosial Ekonomi Hak Pengusahaan Hutan Terhadap Masyarakat Arma
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Arma secara umum tergantung kepada alam. Karena masyarakat Arma adalah masyarakat petani sehingga dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga terlebih khusus kebutuhan pokok dan kebutuhan sekunder, alamlah yang diprioritaskan untuk kelangsungan hidup. Seiring dengan proses pengeksploitasian perusahan pada hak petuanan masyarakat terhadap dampak sosial ekonomi masyarakat Arma maka dapat di jelaskan lewat informan berikut ini.
HPH sebelum masuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat seperti biasanya yaitu bertani, nelayan, kupas kelapa, solidaritas baik dan lain sebagainya. Sekarang HPH masuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat pun agak sedikit berbeda sebelumnya yaitu ada kesempatan kerja di perusahan, lapangan pekerjaan cukup tersedia, akses mobilitas lebih muda. (Hasil wawancara dengan Bpk. Ateng Mawar)
Dari penjelasan diatas maka Menurut Syahza (2004) Dampak Sosial dan Ekonomi pada masyarakat ialah :
o   Menyempitnya lahan usaha tani
o   Berkurangnya kepemilikan tanah bagi masyarakat hukum adat.
o   Ada pendatang (bisa berbeda suku dan agama).
o   Sering terjadi konflik antara masyarakat hukum adat dengan pendatang dan dengan perusahan HPH.
o   Tersedianya akses jalan menuju hutan dan meningkatkan mobilitas penduduk.
o   Menciptakan peluang usaha dan kesempatan kerja.
o   Peningkatan pendapatan masyarakat sekitar.
o   Meningkatkan ilegal lodging.
o   Pemberdayaan masyarakat, pembentukan dan pembinaan ekonomi, dan lembaga Pertumbuhan Ekonomi
Sementara dilihat dari Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999 dampak sosial dan ekonomi  yaitu:
o   Membayar Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH),
o   Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH)
o   Dana Reboisasi (DR)
o   Meningkatkan PAD

G.    Pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah Hak Pengusahaan Hutan
Secara terperinci dikatakan bahwa kehidupan masyarakat pedesaan merupakan masyarakat yang latarbelakangnya petani. Sehingga masyarakat desa hidup dari alam dengan hasil pertaniannya. Hal ini juga terdapat pada masyarakat Arma yakni sebagian masyarakat Arma merupakan masyarakat petani oleh sebab itu aktifitas sehari-hari sebagian masyarakat Arma di ladang. Dengan hasil cocok tanam para petani bertahan hidup dan sering mengekspor hasil pertaniannya ke pasar bisnis untuk mendatangkan modal. Dari hasil pertanian yang di bawah kepasar bisnis digunakan untuk menyelamatkan kehidupan rumah tangga maupun studi anak di dunia pendidikan dan lain sebagainya. Seiring waktu berjalan dengan masuknya hak pengusahaan hutan maka ada perubahan fundamental yang terjadi dalam masyarakat Arma. Sangat menarik ketika menyimak tanggapan dan jawaban informan berikut ini :
Katong bisa bandingkan saja pendapatan yang katong miliki ketika sebelum dan sesudah HPH masuk. Sebelum HPH masuk katong punya pendapatan dari hasil kebun itu berkisar Rp. 3.000.000 sampai Rp. 7.000.000 jika dibawah ke pasar bisnis di luar daerah misalnya Larat, Saumlaki, Tepa, Kisar, Tual,Dobo, Ambon, Geser dan Gorong, Fak-Fak- Kaimana. Tapi sekarang pendapatan berkurang ketika masuknya HPH kenapa demikian, karena hasil pertanian tidak baik, sebab penebangan pohon secara besar-besaran sehingga intensitas air berkurang makanya hasil pertanian tidak begitu bagus jadi kalau diekspor untuk jualan hasil kebun nilai ekonominya hanya sebatas Rp. 2.500.000. sampai Rp. 4.000.000  (Hasil wawancara dengan Bpk. Bambe. Masela)

Informan diatas memberikan gambaran bahwa pendapatan merupakan salah satu tiang kehidupan masyarakat. Dengan hadirnya perusahan hal ini dimenyebabkan keadaan perekonomian yang tidak menentu dan perolehan pendapatan masyarakat petani pun rendah. Sejalan dengan pendapatan masyarakat maka cermati tangapan dari informan berikut ini :

Kalau mau di bilang bahwa pendapatan sebelum dan sesudah perusahaan masuk di Desa Arma agak sedikit berbeda dan mempunyai peluang usaha yang cukup bagus. Alasannya yang tadinya HPH belum masuk masyarakat hanya fokus pada pertanian dan pendapatanpun hanya dengan hasil pertaniannya. Sementara HPH masuk peluang untuk dapatkan keuntungan agak sedikit berbeda dan sumber untuk dapat uang itu berbeda-beda misalnya lewat hasil ojek, gaji bulanan di perusahan bagi yang bekerja dan sebagainya. Misalnya untuk ojek pendapatan perhari Rp. 200.000 sampai Rp. 500.000 atau gaji di perusahaan satu bulan untuk security Rp. 1. 800.000 atau keuntungan pada kios-kios sebelum HPH masuk rata-rata Rp.150.000 sampai Rp. 250.000 perhari sementara HPH masuk mendapat keuntungan Rp. 200.000 sampai Rp. 500.000 perhari. (Pengambungan hasil wawancara dengan beberapa informan pada pertengahan September sampai akhir September 2015)



Dengan jawaban informan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
v  Pendapatan sebelum masuknya hak pengusahaan hutan
                  1.               Sebelum hak pengusahaan hutan masuk di Desa Arma kehidupan ekonomi masyarakat Arma bergantung pada hasil pertanian maupun hasil nelayan
                  2.            Pendapatan dari hasil pertanian perpanen yang didistribusikan ke pasar bisnis dengan nilai ekonomi berkisar pada Rp. 3.000.000 sampai Rp. 7.000.000
                  3.            Pendapatan pada kios-kios atau pedagang asongan per hari yaitu Rp. 150.000 sampai 250.000
v  Pendapatan setelah masuknya hak pengusahaan hutan
1.      Sejak hak pengusahaan hutan masuk di Desa Arma pendapatan masyarakatpun berubah hal ini di karenakan adanya kesempatan dan peluang kerja dan usaha kerja  yang baik.
2.      Masuknya hak pengusahaan hutan menimbulkan lapangan pekerjaan seperti akses transportasi, perekrutmen tenaga kerja di perusahaan. Sehingga pendapatan masyarakatpun berubah dari sumber pendapatan yang berbeda pula.
3.      Tingkat pendapatan pada masyarakat sebagai berikut :
a.       Hasil pertanian dengan pendapatan perpanen Rp. 2.500.000 sampai Rp. 4.000.000
b.      Pendapatan pada kios-kios atau pedagan asongan Rp. 200.000 sampai Rp. 500.000
c.       Pendapatan dari hasil ojek perhari Rp. 200.000 sampai 500.000
d.      Tenaga kerja perusahan (security) di beri upah per bulan Rp. 1.800.000
Terjadi perubahan signifikan pendapatan pada peluang usaha masyarakat Arma ketika sebelum dan sesudah hak pengusahaan hutan masuk.

H.    Hubungan masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Bedikari
Dalam kehidupan masyarakat pasti melalui suatu proses sosial. Bentuk dari proses sosial adalah interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok maupun antar individu dengan kelopok (Soekanto, 2006:62) suatu interkasi sosial dapat terjadi apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu :
1.      Kontak Sosial
Adanya kontak sosial, yang dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu antar individu, antar individu dengan kelompok dan antar kelompok. Dari penjelasan singkat tersebut dengan melihat kehidupan sosial masyarakat sekitar kontak sosial antar individu atau individu dengan kelompok sudah ada lewat proses dimana masyarakat telah mengetahui tentang masuknya hak pengusahaan hutan di Desa Arma. Begitu pula dengan hubungan sosial antar individu dengan kelompok berdasarkan hubungan emosional antara masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari.

2.      Komunikasi
Komunikasi yaitu seorang memberi arti kepada orang lain, perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut (Soekanto, 2006:62)
Komunikasi dalam hubungan sosial masyarakat dengan PT. Karya Jaya Berdikari  menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan masyarakat sekitar termasuk masyarakat majemuk sehingga untuk mempermudah mereka dalam berkomunikasi. Sehingga apa yang di maksud oleh salah satu individu dapat dimengerti oleh orang lain atau individu yang lain atau antar individu dengan kelompok yang dapat mewujudkan relasi yang baik.Terhadap hubungan sosial masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari maka dapat dicermati pandangan informan berikut ini;
              Sejauh ini hubungan masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi, jika kondisi tegang maka hubungan pun rengang dan jika hubungan situasi biasa-biasa saja maka hubungan juga aman. (Hasil wawancara dengan Bpk. Cale Masela)

            Sesuai dengan jawaban informan dengan pengamatan dilapangan dapat disimpulkan bahwa hubungan sosial masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari berjalan dengan baik jika kedua pihak merasa diuntungkan dan jika salah satu pihak merasa tidak di rugikan maka hubungan sosial berjalang rengang. Misalnya hak pengusahaan hutan telah mengeksploitasi hasil hutan milik masyarakat Arma maka ada kesepakatan-kesepakatan yang perlu diambil dan diputuskan bersama sebagai dasar untuk membangun relasi. Namun dalam tahap pelaksanaan butir-butir kesepakatan itu tidak dapat direalisasikan dengan baik oleh PT. Karya Jaya Berdikari maka hubungan sosial masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari pun rengang. Artinya ada hubungan timbal-balik atau hubungan sebab akibat dalam membangun hubungan sosial masyarakat Arma dengan hak pengusahaan hutan.
Terkait dengan kehidupan sosial masyarakat Arma dengan hak pengusahaan hutan sangat menarik untuk dilihat tanggapan informan berikut ini;
Hubungan sosial antara PT. Karya Jaya Berdikari kalau mau dikatakan katong lihat dari hubungan darah yaitu pimpinan perusahan dalam hal ini Bpk. Jhon Keliduan  ada keterkaitan hubungan darah dengan masyarakat Arma terlebih khusus marga Jambormias karena ada hubungan duan-lolat, dan dari kehidupan sehari-hari pimpinan perusahan dan karyawannya sangat akrab sekali dengan masyarakat. Kalaupun ada permintaan bantuan dari masyarakat kami perusahan siap membantu. Misalnya pengunaan mobil untuk transportasi, pemakaian alat-alat perusahan untuk kepentingan masyarakat bahkan bantuan perusahan untuk menyalurkan dana dan sembakau bagi masyarakat Watmuri yang kena musibah atau kecelakaan maut. Bahkan tenaga kerja perusahan juga kami rekrut dari masyarakat Arma. (hasil wawancara dengan tenaga kerja PT. Karya Jaya Berdikari/kepala operasional. Bpk. Akle Fanumbi)

            Dengan tanggapan dan jawaban informan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Arma dengan hak pengusahaan hutan mempunyai hubungan yang baik sehingga ada hubungan-hubungan emosional yang dibangun secara kekeluargaan maupun lewat interksi setiap hari antar sesama individu maupun kelompok.



















BAB IV
MANIFESTASI KONFLIK INTERNAL DAN KONFLIK EKSTERNAL
DI DESA ARMA DENGAN PT. JAYA KARYA BERDIKARI
DAN SOLIDARITAS SOSIAL MASYARAKAT ARMA

Konflik adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Selama masyarakat masih memiliki kepentingan, kehendak, serta cita-cita konflik senantiasa “mengikuti mereka”. Oleh karena dalam upaya untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan pastilah ada hambatan-hambatan yang menghalangi, dan halangan tersebut harus disingkirkan. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi benturan-benturan kepentingan antara individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Jika hal ini terjadi, maka konflik merupakan sesuatu yang niscaya terjadi dalam masyarakat. Konflik antar budaya ataupun multidimensional yang sering muncul dan mencuat dalam berbagai kejadian yang memprihatinkan dewasa ini bukanlah konflik yang muncul begitu saja. Akan tetapi, merupakan akumulasi dari ketimpangan–ketimpangan dalam menempatkan hak dan kewajiban yang cenderung tidak terpenuhi dengan baik.
Dalam kehidupan bermasyarakat seiring waktu berjalan terjadi berbagai macam dinamika kehidupan sosial yang terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok itu sendiri. Dari sekian banyak dinamika kehidupan sosial masyarakat itu, salah satunya ialah konflik sosial. Konflik secara etimologis adalah pertengkaran, perkelahian, perselisihan tentang pendapat atau keinginan; atau perbedaan; pertentangan berlawanan dengan; atau berselisih dengan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik mempunyai arti percekcokan; perselisihan; dan pertentangan. Sedangkan menurut kamus sosiologi konflik bermakna the overt struggle between inthviduals or groups within a society, or between nation states, yakni pertentangan secara terbuka antara individu-individu atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat atau antara bangsa-bangsa.

A.    Konflik internal dan solidaritas sosial masyarakat Arma
Pada hakekatnya konflik merupakan harga mati bagi setiap individu atau kelompok masyarakat yang terus berlangsung dalam kehidupan sosial masyarakat sehingga terjadi dinamika sosial seperti timbul kesadaran sosial masyarakat yang bertikai, memperkuat atau memperlemah solidaritas, terjadi perubahan-perubahan sosial dan lain sebagainya.
Umumnya dalam kehidupan sosial masyarakat Arma dengan hadirnya PT. Karya Jaya Berdikari sebagai pemegang hak pengusahaan hutan menimbulkan gejolak sosial yang mencolok dalam masyarakat setempat. Dinamika kehidupan sosial masyarakat yang terjadi dengan keberadaan hak pengusahaan hutan di petuanan masyarakat menimbulkan kontrafersi antar masyarakat dengan lain kata terjadi dualisme kelompok masyarakat yakni kelompok masyarakat pro hak pengusahaan hutan dan kelompok masyarakat kontra hak pengusahaan hutan. Konflik yang terjadi dalam masyarakat tersebut dikategorikan sebagai konflik internal.
Konflik internal juga disebut konflik horizontal karena konflik tersebut hanya terjadi dalam lingkaran masyarakat setempat. Konflik pro dan kontra berawal dari masuknya PT. Jaya Karya Berdikari di petuanan masyarakat Arma dengan dasar pikir masing-masing kelompok yang berbeda. Berikut ini asumsi masing-masing kelompok (pro dan kontra) terhadap eksploitasi hak ulayat masyarakat Arma.
1.      Asumsi kelompok masyarakat pro PT. Karya Jaya Berdikari
Ø  Atas dasar hubungan politik
Ø  Negosiasi masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari
Ø  Ada kesempatan kerja
Ø  Pengetahuan masyarakat tentang alat-alat moderen meningkat
Ø  Mengarah pada kepentingan dan kebutuhan semata
2.      Asumsi kelompok kontra PT. Karya Jaya Berdikari
Ø  Dominan masyarakat Arma ialah petani
Ø  Terjadi kekeringan
Ø  Konflik sosial berkepanjangan
Ø  Keberadaan generasi berikut di 5 tahun sampai 10 tahun mendatang
Atas dasar asumsi inilah sehingga menimbulkan kelompok masyarakat pro dan kelompok masyarakat kontra karena kebenaran yang satu diperhadapkan dengan kebenaran yang lain. Solidaritas masyarakat Arma sebelum masuknya PT. Karya Jaya Berdikari merupakan hubungan solidaritas yang baik, yang dibangun antar individu mapun kelompok berdasarkan hubungan ikatan persaudaraan antar sesama. Hubungan solidaritas tersebut dapat di lihat dan dirasakan ketika seseorang atau kelompok masyarakat tersebut saling berbagi, saling menolong atau saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hal ini berbeda ketika masuknya hak pengusahaan hutan, solidaritas masyarakat berubah jauh dibandingkan sebelumnya yakni hubungan sosial tidak dibangun berdasarkan pada logika berpikir atas dasar persaudaran tapi lebih fokus pada hubungan semata yang bergantung pada kepentingan dan keuntungan sesaat. Hal ini membuat sehingga konflik sosial (konflik internal) terjadi antara kelompok masyarakat pro dan kelompok masyarakat kontra.
Menurut L. Cover konflik internal adalah konflik yang sering terjadi dalam kelompok internal itu sendiri sehingga memperlemah ruang solidaritas diantara mereka. Jelaslah bahwa konflik internal dalam masyarakat Arma memperlemah hubungan solidaritas dalam masyarakat tersebut.
o   Bagan Konflik Internal dan Solidaritas Masyarakat Arma
 









            Pada bagan tersebut digambarkan bahwa konflik internal ialah konflik yang terjadi dalam masyarakat Arma dengan dualisme kelompok yakni kelompok pro dan kelompok kontra, konflik ini memperlemah solidaritas masyarakat Arma.

B.     Konflik eksternal dan solidaritas internal masyarakat Arma
Kondisi sosial masyarakat Arma sangat dinamis ketika PT. Karya Jaya Berdikari masuk dan sebagai sumber konflik bagi masyarakat hukum adat tersebut. Keberadaan hak pengusahaan hutan pun membawa sejumlah perubahan-perubahan sosial salah satunya konflik sosial baik itu konflik internal maupun konflik eksternal. Seperti halnya telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa konflik internal juga merupakan konflik horizontal dan konflik eksternal bagian dari pada konflik vertikal.
Seperti yang dijelaskan oleh L. Cover bahwa konflik eksternal ialah konflik yang terjadi antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, sehingga dapat memperkuat solidaritas masing-masing kelompok yang bertikai. Konsep ini mengambarkan bahwa konflik eksternal pada masyarakat Arma dengan PT. Jaya Karya Berdikari secara langsung memperkuat solidaritas masyarakat Arma itu sendiri, karena fokus dan perhatian masyarakat akan dampak dan keuntungan serta kebutuhan masyarakat harus diperhatikan secara bersama-sama. Sangatlah menarik ketika masyarakat Arma dijadikan sebagai media untuk mengambarkan konflik eksternal yang terjadi antara masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari.
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
o   Bagan Konflik Eksternal dan Solidaritas Masyarakat Arma
 







           
            Pada bagan diatas mengambarkan bahwa konflik eksternal ialah konflik yang terjadi pada masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari. Yang melatarbelakangi munculnya konflik eksternal ialah :
a.       Status sosial dan kekuasaan yang berbeda (masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari)
b.      Kepentingan dan kebutuhan yang berbeda antar kelompok yang bertikai (masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari)

            Dengan munculnya konflik eksternal maka memperkuat solidaritas internal masyarakat Arma dalam hal ini muncul kesadaran masyarakat Arma (kelompok pro dan kontra) supaya sama-sama mengusahakan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat Arma sehingga ada keseimbangan masyarakat untuk medapatkan kepuasan dari hak pengusahaan hutan dan PT. Karya Jaya Berdikari pun memperoleh hak atas lahan masyarakat Arma. Kemudian konflik yang terjadi juga bukan secara individu tetapi secara berkelompok, maka Lewis Coser berpandangan bahwa konflik sering memperkuat dan mempertegas batas kelompok dan meningkatkan penggalangan solidaritas internal kelompok. Konflik antara kelompok merupakan penghadapan antara in –group dan out-group.

C.     Konflik dan kesadaran masyarakat Arma
Konflik merupakan gesekan yang terjadi antara dua kubu atau lebih yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, kelangkaan sumber daya, serta distribusi yang tidak merata, yang dapat menimbulkan deprifasi relative di masyarakat. Konflik dan kehidupan manusia tidak mungkin untuk dapat dipisahkan dan keduanya berada bersama-sama karena perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumber daya itu memang pasti ada dalam masyarakat. Konflik akan selalu kita jumpai dalam kehidupan manusia atau kehidupan masyarakat sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia melakukan berbagai usaha yang dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada sejumlah hak dan kewajiban. Jika hak dan kewajiban tidak dapat terpenuhi dengan baik, maka besar kemungkinan konflik terjadi.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, konflik internal maupun eksternal dalam masyarakat Arma, masing-masing kelompok mempertahankan idealisme yang telah memperkuat identitas masing-masing kelompok.
o   Bagan konflik (eksternal/internal) dan kesadaran masyarakat Arma
 



                                                                          
Text Box: MASYARAKAT PRO Text Box: MASYARAKAT KONTRA
 




Bagan diatas mengambarkan tentang konflik (internal/eksternal) masyarakat Arma dan PT. Karya Jaya Berdikari serta kesadaran masyarakat terhadap konflik tersebut dengan memperketat dan memperkuat solidaritas masyarakat Arma. Pada umumnya konflik dalam masyarakat Arma berawal dari masuknya PT. Karya Jaya Berdikari sebagai pemegang hak pengusahaan hutan. Dalam situasi dan kondisi secara bersamaan konflik internal dan eksternal terjadi sehingga hubungan solidaritas masyarakat Arma melemah dengan konflik internal atau konflik pro dan kontra. Namun pada konflik eksternal, solidaritas masyarakat Arma kuat karena konflik ini terjadi antara PT. Karya Jaya Berdikari dengan masyarakat hukum adat (masyarakat Arma).
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.
Coser menyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. Contoh: Seperti konflik internal (pro dan kontra) dan konflik eksternal (Masyarakat Arma dan PT. Karya Jaya Berdikari).
Menurut Lewis A. Coser bahwa konflik mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:
1). Konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang berstruktur secara longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi atau berkonflik dengan masyarakat lain, dapat memperbaiki kepaduan integrasi.
2). Konflik dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain.
3). Konflik dapat membantu mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi.
4). Konflik juga dapat membantu fungsi komunikasi. Sebelum konflik, kelompok-kelompok mungkin tidak percaya terhadap posisi musuh mereka, tetapi akibat konflik, posisi dan batas antar kelompok ini sering menjadi diperjelas. Oleh karena itu individu bertambah mampu memutuskan untuk mengambil tindakan yang tepat dalam hubungannya dengan musuh mereka. Konflik juga memungkinkan pihak yang bertikai menemukan ide yang lebih baik mengenai kekuatan relatif mereka dan meningkatkan kemungkinan untuk saling mendekati atau saling berdamai.
Dari penjelasan-penjelasan diatas maka dampak konflik sosial dibagi menjadi dua yakni dampak positif dan dampak negatif.
1.      Dampak positif  konflik meliputi: 
  • Konflik dapat bertambah kuatnya rasa solidaritas antara sesama anggota kelompok (in group solidarity)
  • Konflik dapat menciptakan integrasi yang harmonis
  • Konflik dapat memperkuat identitas pihak yang berkonflik
  • Konflik dapat menciptakan kelompok baru
  • Konflik dapat membuka wawasan
  • Konflik dapat memperjelas berbagai aspek kehidupan yang masih belum tuntas.
  • Konflik dapat meningkatkan solidaritas diantara anggota kelompok.
  • Konflik dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap individu atau kelompok.
  • Konflik dapat memunculkan kompromi baru.
2.      Dampak negatifkonflik meliputi :
  • Rusaknya fasilitas umum. 
  • Terjadi perubahan kepribadian. Menyebabkan dominasi kelompok pemenang
  • Konflik dapat menimbulkan keretakan hubungan antara individu dan kelompok.
  • Konflik menyebabkan rusaknya berbagai harta benda dan jatuhnya korban jiwa.
















BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan tentangHak Pengusahaan Hutan dan Perubahan Sosial Masyarakat Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat, maka dapat disimpulkn antara lain :
1.      Hak Pengusahaan Hutan di Pulau Yamdena telah di eksploitasi hasil hutannya terhitung tiga kali oleh PT. Alam Nusa Segar, PT. Yamdena  Hutani Lestari dan PT. Karya Jaya Berdikari
2.      Pengetahuan dan pandangan masyarakat Arma tentang hak pengusahaan hutan sebagai berikut :
a.       Terjadi kontrafersi dalam masyarakat yakni kelompok masyarakat pro hak pengusahaan hutan dan kelompok masyarakat kontra hak pengusahaan hutan.
b.      Terjadi konflik sosial antara lain konflik vertikal (eksternal) atau konflik antara masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari dan konflik horizontal (internal) atau konflik antara kelompok pro dan kelompok kontra hak pengusahaan hutan.
3.      Keberadaan hak pengusahaan hutan di Desa Arma berdampak pada pendapatan nilai  ekonomi masyarakat yaitu :
a.       Sebelum hak pengusahaan hutan masuk di Desa Arma rata-rata pendapatan penduduk  dari hasil kebun berkisar Rp. 3.000.000 sampai Rp. 7.000.000
b.      Setelah hak pengusahaan hutan masuk di Desa Arma rata-rata pendapatan penduduk dari hasil pertanian berkisar Rp. 2.500.000 sampai Rp. 4.000.000
4.      Kehadiran hak pengusahaan hutan di Desa Arma membawa perubahan-perubahan dalam masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan sosial, perubahan ekonomi, perubahan budaya dan perubahan lingkungan.
5.      Hubungan sosial masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari merupakan hubungan yang dibangun berdasarkan kekeluargaan maupun lewat interaksi setiap hari antar individu maupun kelompok.

B.     Saran
1.      Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Barat untuk mengevaluasi kinerja hak pengusahaan di petuanan masyarakat hukum adat
2.      Kepada Dinas Kehutanan Pemerintah DaerahKabupaten Maluku Tenggara Barat untuk mengontrol aktivitas hak pengusahaan hutan di petuanan masyarakat hukum adat.
3.      Kepada masyarakat Arma sehingga jelih melihat masalah-masalah sosial dengan baik.
4.      Secara rasional hak pengusahaan hutan (HPH) tidak menguntungkan bagi masyarakat Arma atau masa depan Tanimbar oleh karena bahaya kekeringan, pemangkasan tradisi bertani, konflik vertikal maupun konflik horizontal, serta masyarakat ekonomi juga sangat minim bagi pemilik hak petuanan adat, sehingga saya ingin hak pengusahaan hutan harus segera di hentikan oleh pemerintah otonom Kabupaten Maluku Tenggara Barat.






DAFTAR PUSTAKA

Damsar. Sosiologi Ekonomi, Jakarta : PT Rasa Grafindo Persada. 1997.
Dayk Paul Jhonsons, Teori Sosiologi Klasi dan Modern Jilid 2. Jakarta PT. Gramedia Pustaka
Utama., 1996
Dwi Susilo, Rachmad K. Sosiologi Lingkungan. Jakarta : Rajawali Pers, 2012.
Jones. Pip. Pengantar Teori-Teori Sosial : Teori Fungsionalisme hingga Post-Modernisme.
Jakarta, Yayasan Pustaka, Obor Indonesia, 2010.
Lewis A Koser. The Functions of sosial konflic, New York, Free press, 1956.
Martono. Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial : Presprektif Klasik, Modern, Posmodern, dan
Poskolonisl. Jakarta, PT. RajaGrafndo Persada, 2012.
M. S. C, P. Drabbe. Etnorgrafi Tanimbar : Hak Milik Tanah. Netherland, leiden, 1940.
Ritzer, George. Teori Sosiologi : Edisi Kedelapan, dari Teori Klasik Sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern. Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2012.
Rahardja. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press, 2010.
Renwarin. P. R. Life In The Saryamrene : An Anthropological Exploration Of The Yamdena,
In The Tanimbar Archipelago, Maluku, Indonesia.Holland, Universty of Leiden,
1980.
Subagyo. P. Joko S.H. Meode Penelitian Dalam Teori dan Praktik. Jakarta, Rineka Cipta,
2011.
Sztompaka. Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta, Prenada Media Group, 2004.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar