BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bertambahnya jumlah penduduk mendorong
meningkatnya permintaan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Keadaan ini akan mengakibatkan habisnya hutan apabila tidak dikelola dengan
baik dan berkelanjutan. Pengelolaan hutan lestari, konservasi hutan dan
pembangunan seluruh jenis hutan merupakan program Pemerintah Indonesia saat
ini. Program tersebut bertujuan agar hutan dapat dimanfaatkan secara lestari,
selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya
dan umat manusia umumnya, baik masa kini maupun masa yang akan datang
(Departemen Kehutanan, 2001).
Pengusahaan hutan merupakan salah satu
bentuk pemanfaatan sumber daya alam yang mempunyai arti penting bagi
pembangunan perekonomian, khususnya di daerah Maluku. Pada masa pembangunan
yang telah lalu, sektor kehutanan merupakan penyumbang devisa terbesar kedua
setelah minyak dan gas bumi. Namun demikian, dengan semakin berkembangnya
teknologi dan semakin tingginya kebutuhan lahan untuk sektor lain serta
terjadinya kebakaran hutan yang cukup luas, sumberdaya hutan khususnya sebagai
penghasil kayu semakin menurun baik secara kualitatif maupun kuantitatif
terutama pada hutan alam. Salah satu penyebabnya adalah semakin meningkatnya
pemanfaatan sumberdaya hutan oleh pemerintah dan pemegang hak pengusahaan hutan
(HPH).
Definisi
dan pengertian dari hak pengusahaan hutan (HPH) adalah hak untuk mengusahakan
hutan di dalam suatu kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan penanaman,
pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil
hutan, berdasarkan ketentuan–ketentuan yang berlaku serta berdasarkan azas
kelestarian.
Sebagai salah satu kekayaan alam yang
menjadi modal dasar pembangunan nasional, hutan memiliki manfaat yang nyata
bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat, baik itu manfaat ekologi, sosial,
budaya maupun ekonomi. Sejalan dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Hal ini mengisyaratkan bahwa penyelenggaraan kehutanan
senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan
berkelanjutan, untuk itu hutan harus dikelolah dan dipelihara secara
berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik untuk generasi sekarang
maupun yang akan datang.
Intervensi manusia dalam pemanfaatan dan manipulasi
terhadap hutan baik pada masa silam maupun sekarang merupakan pengalaman yang
konsekuensinya tidak dapat dihindarkan, yaitu berupa kerusakan baik biologi
(vegetasi) maupun fisik (tanah dan iklim). Salah satu wilayah yang mempunyai
potensi penghasil kayu hutan tropis adalah Pulau Yamdena, sebuah pulau terbesar
dalam gugusan Kepulauan Tanimbar yang berada di Kabupaten Maluku Tenggara Barat
Provinsi Maluku. Pulau yang mempunyai luas 325.725 ha ini telah dilakukan
eksploitasi oleh PT. Alam Nusa Segar dengan SK Menteri Kehutanan No.
215/Kpts-II/1991 tanggal 23 April 1991 dengan luas 164.000 Ha. Dikarenakan
perusahan Alam Nusa Segar melakukan
eksploitasi berlebihan maka perusahan ini dicabut oleh Menteri Kehutanan dengan SK pencabutan No. 200/Menhut-II/2007 tanggal
16 Mei 2007.
Pada Tahun 2007 pemerintah membuka
peluang lagi bagi investor untuk mengeksploitasi hutan Yamdena. Gubernur Maluku
memberi rekomendasi (No.522.1126) kepada PT. Karya Jaya Berdikari (KJB)
memanfaatkan hasil hutan kayu di wilayah Pulau Yamdena, begitu juga untuk
Bupati Maluku Tenggara Barat lewat Surat Rekomendasi Bupati No.522/093/Rek/2007
sedangkan Surat Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Menteri Kehutanan
dikeluarkan pada tanggal 19 Maret 2009 dengan SK.117/Menhut-II/2009.
Alasan
pemerintah daerah memberikan ijin untuk PT. Karya Jaya Berdikari untuk
mengeksploitasi hutan Yamdena bahwa, Pertama : penebangan liar oleh masyarakat
adat semakin tak terkendalikan dan mulai mamasuki ambang batas toleransi. Kedua
: dampak ekonomi dari eksploitasi hutan Yamdena oleh perusahan hak pengusahaan
hutan, sangat signifikan terhadap peningkatan ekonomi kerakyatan dan terutama
peningkatan pada pendapatan asli daerah (PAD).
Terjadi
kontrafersi dalam masyarakat adat pulau Yamdena dengan hadirnya hak pengusahaan
hutan, karena Pertama, Peristiwa pembalakan hutan secara besar-besaran
oleh masyarakat Yamdena patut disesalkan. Masyarakat Adat di Pulau Yamdenapun
menyadari akan kekeliruannya dalam hal pengelolaan Hutan Adat/Petuanan Adatnya.
Kedua, melirik kembali ke belakang, ternyata hadirnya Perusahan HPH di era
tahun 1990-an sama sekali tidak membantu masyarakat untuk keluar dari persoalan
ekonominya.
Kondisi diatas terjadi pula dalam
pemanfaatan sumber daya hutan di Desa Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku
Tenggara Barat. Dimana persoalan hak atas lahan hutan yang merupakan bagian
terpenting dari kehidupan masyarakat lokal seringkali merupakan potensi
konflik. Kegiatan HPH seperti penebangan kayu secara besar-besaran untuk
kebutuhan industri telah menimbulkan kemerosotan mutu lingkungan yang diderita
masyarakat lokal. Masyarakat lokal boleh dikatakan tidak ikut menikmati hasil
dari pemanfaatan hutan, tetapi harus menanggung dampak negatifnya, hal ini
memicu perlawanan masyarakat lokal terhadap pengusaha HPH (Saragih, 2001).
Desa Arma adalah salah satu desa yang
berada di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dimana rata-rata penduduk masyarakat
Arma sangat bergantung hidup pada sumber daya alam yang ada termasuk hutan.
Salah satu sumber daya alam yang sering dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup
masyarakat ini adalah hasil hutan. Hutan bagi masyarakat Arma adalah salah satu
usaha yang memberikan kontribusi besar bagi kehidupan. Masyarakat Arma juga
merupakan masyarakat petani, terlepas dari pada nelayan yang hidupnya
tergantung pada alam. Kehidupan pada masyarakat di dukung dengan norma-norma
dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat sehingga
masyarakat hidup teratur, dengan berbagai aturan yang ada masyarakat pun dapat
memahami dan mentaatinya. Terlepas dari kehidupan keteraturan tersebut terjadi
pergeseran norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya ketika masuknya PT. Karya
Jaya Berdikari sebagai hak pengusahaan hutan di Pulau Yamdena khususnya di Desa
Arma yang membuat sehingga terjadinya perubahan-perubahan sosial budaya dalam
masyarakat.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi
dalam masyarakat Arma ialah terjadinya distorsi atau pengikisan terhadap
hubungan sosial, konflik internal (antara kelompok pro dan kontra) dan konflik
eksternal (masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari), terjadi pergeseran
pekerjaan (petani menjadi tenaga kerja perusahan), cara pandang masyarakat
berbeda-beda terhadap sistem kerja yang di terapkan oleh hak pengusahaan hutan
sehingga mengikis nilai-nilai sosial budaya dalam masyarakat serta fungsi
sosial berubah menjadi fungsi ekonomi karena semakin tinggi kebutuhan.
Persekutuan keluarga dan tanggung jawab bersama kelompok keluarga dalam
menyelesaikan suatu masalah mulai bergeser pada logika hubungan sosial yang
bersifat rasional, kalkulasi untung rugi yang sebelumnya tidak pernah ada kian
menjadi bagian dari praktek hubungan sosial masyarakat Arma, uang memegang
peranan cukup penting dalam menata pembangunan sosial masyarakat Arma, dampak
teknologi modern yang di gunakan hak pengusahaan hutan merubah nilai-nilai
budaya dan lain sebagainya.
Menyikapi kondisi diatas maka penulis
merasa tertarik untuk mestudikannya secara ilmiah dengan meniliti perubahan
sosial dalam masyarakat Arma dengan judul “Hak
Pengusahaan Hutan dan Perubahan Sosial Masyarakat Arma Kecamatan Nirunmas
Kabupaten Maluku Tenggara Barat”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana bentuk perubahan sosial
masyarakat Arma setelah masuknya Hak Pengusahaan Hutan.?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
a.
Tujuan
Berdasarkan
latar belakang permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
a) Menganalisis
bentuk perubahan sosial masyarakat setelah masuknya Hak Pengusahaan Hutan di
Desa Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
b) Menganalisa
dan menjelaskan tentang hubungan sosial masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya
Berdikari.
b.
Manfaat
Penelitian
Berdasarkan
penjelasan latar belakang masalah dan tujuan penelitian yang telah disampaikan
di atas, selanjutnya manfaat dari penelitian ini :
a) Dijadikan
sebagai bahan informasi bagi masyarakat dalam melihat perubahan sosial yang
terjadi di Desa Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat
b) Menjadi
bahan masukan bagi pihak pemerintah daerah dalam melihat keberadaan hutan adat
serta hak masyarakat hukum adat setempat serta perubahan sosial di masyarakat
Arma.
c) Menambah
referensi bagi perkembangan Ilmu Sosial, khususnya sosiologi
d) Sebagai
sumbangan pemikiran bagi penelitian yang lebih mendasar terutama yang berkaitan
langsung dengan pokok permasalahan.
D.
Kerangka
Teori
Untuk
menganalisis “Hak Pengusahaan Hutan dan Perubahan Sosial Masyarakat Arma
Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat”Maka akan di kemukakan
beberapa pengertian dan teori-teori yang berkaitan erat dengan topik yang akan
di bahas.
1. Teori Tindakan Sosial ( Max Weber )
Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan
yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan
”membatin” atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif
dari situasi tertentu, atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja
sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa, atau berupa persetujuan
secara pasif dalam situasi tertentu.
Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar
hubungan sosial itu Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran
penelitian sosiologi yaitu :
- Tindakan
manusia, yang menurut aktor mengandung makna yang subjektif. Ini meliputi
tindakan nyata.
- Tindakan
nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subjektif.
- Tindakan
yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja
diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
- Tindakan
itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
Tindakan itu memperhatikan tindakan
orang lain dan terarah kepada orang lain itu (Ritzer, 2002 : 38-39). Tindakan
sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka.
Hubungan sosial menurut Weber yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor yang
berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan
kepada tindakan orang lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling
menanggapi.
Pada umumnya tindakan sosial terjadi
bukan saja terjadi pada individu-individu namun juga kelompok-kelompok
masyarakat tertentu, dalam hubungan sosial masyarakat Arma setiap individu
selalu melekatkan makna subjektifnya dalam membangun hubungan sosialnya. Dengan
masuknya hak pengusahaan hutan di Desa Arma maka muncullah kubuh pro dan
kontra, namun disadari sunggu bahwa memaknai dibalik tindakan tersebut ada
makna subjektifnya dengan lain kata ada sesuatu atau sebab – akibat (positif di
balik tindakan aktor tergantung presepsi masing-masing aktor bertindak)
Weber juga membicarakan
bentuk-bentuk empiris tindakan sosial dan antar-hubungan sosial tersebut. Weber
membedakan dua jenis dasar dari pemahaman yang bersifat tafsiran dari arti,
dari tiap jenis pemahaman ini bisa dibagi sesuai dengan masing-masing
pertaliannya, dengan menggunakan tindakan rasional ataupun emosional. Jenis
pertama adalah pemahaman langsung yaitu memahami suatu tindakan dengan
pengamatan langsung. Kedua, pemahaman bersifat penjelasan.
Dalam tindakan ini tindakan khusus
aktor ditempatkan pada suatu urutan motivasi yang bisa dimengerti, dan
pemahamannya bisa dianggap sebagai suatu penjelasan dari kenyataan
berlangsungnya perilaku. Max Weber dalam (Ritzer, 2002:40-41) membedakan empat
tipe tindakan sosial. Dimana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah
dipahami. Tipe tindakan tersebut adalah:
1. Rasionalitas
instrumental
: yaitu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan
dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan
alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
2. Rasionalitas
yang berorientasi nilai
: alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar,
sementara tujuan-tujuannya sudah ada didalam hubungannya dengan nilai-nilai
individu yang bersifat absolut.
3. Tindakan
tradisional
: seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh
dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar
atau perencanaan. Dalam kaitan dengan tindakan tradisional pada
mayarakat Arma hak ulayat masyarakat merupakan petuanan hukum adat masyarakat
Arma secara turun –temurun yang diwariskan oleh leluhur masyarakat Arma sehinga
harus dilestarikan.
4. Tindakan
afektif : tindakan
ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan
sadar. Tindakan afektif bersifat spontan, tidak rasional dan merupakan refleksi
emosional dari individu atau dengan kata lain tindakan yang dibuat-buat.
Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar
dipahami. Kurang atau tidak rasional.
Menyikapi
kondisi masyarakat Arma dengan arus goncangan hak pengusahaan hutan yang
mengeksploitasi hasil hutan masyarakat Arma, hal ini memicu emrio konflik,
secara spontan masyarakat menolak hak pengusahaan hutan melakukan aksi
penolakan yaitu pembakaran bes camp hak pengusahaan hutan serta melakukan
perlawanan terhadap karyawan atau tenaga kerja hak pengusahaan hutan.
Menurutnya bahwa keempat tindakan
tersebut sulit diwujudkan dalam kenyataan, namun apapun wujudnya hanya dapat
dimengerti menurut arti subjektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan
dengan itu. Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-pihak yang
berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan makna tindakan sosial yang
mereka lakukan.
2.
Teori
Konflik (Lewis Coser)
Menurut Lewis Coser, konflik terbagi
atas dua bagian yaitu konflik internal
dan konflik eksternal.
1. Konflik
internal adalah konflik yang sering terjadi dalam kelompok internal itu sendiri
sehingga memperlemah ruang solidaritas diantara mereka.
2. Konflik
eksternal adalah konflik yang terjadi antara kelompok yang satu dengan kelompok
yang lain, sehingga dapat memperkuat masing-masing kelompok yang bertikai.
Kemudian konflik yang terjadi juga
bukan secara individu tetapi secara berkelompok, maka Lewis Coser berpandangan
bahwa konflik sering memperkuat dan mempertegas batas kelompok dan meningkatkan
penggalangan solidaritas internal kelompok. Konflik antara kelompok merupakan
penghadapan antara in –group dan out-group.
Ketika konflik terjadi,
masing-masing anggota dalam satu kelompok akan meningkatkan kesadaran sebagai
sebuah kelompok (in-group) untuk berhadapan dengan kelompok lain (out-group).
Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih
kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas
kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial lainnya
(Poloma, 1987:108). Ketika ada ancaman dari luar maka kelompok tidak mungkin
memberikan toleransi pada perselisihan internal.
Coser
mengatakan bahwa “semakin kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik untuk
suatu kepentingan yang realistik, konflik semakin kurang keras”. Sebaliknya
semakin kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik untuk dalam suatu
kepentingan yang non realistik semakin keras konflik itu. Coser membuat suatu
perbedaan yang penting dalam hubungan ini antara konflik realistik dan
nonrealistik. Konflik realistik diarahkan/ditujukan ke objek konflik yang
sebenarnya (berakar dari sumber konflik yang bersifat materiil), sedangkan
konflik nonrealistik membelok dari objek konflik yang sebenarnya (berakar dari
sumber konflik yang bersifat nonrealistik dan mengarah pada hal-hal yang berbau
idealistis seperti konflik antar etnis, agama, ras, dan sebagainya). Perlu
dipahami dengan jelas bentuk dan sumber konflik agar dapat menentukan langkah
dalam mengatasi konflik-konflik tersebut.
Prespektif demikian jika dihubungkan
dengan konflik di Desa Arma, konflik realistik ditujukan pada pengeksploitasian
hasil hutan masyarakat Arma. Sedangkan konflik nonrealistik yaitu konflik yang
mengarah pada pandangan masyarakat (pro dan kontra) terhadap hak pengusahaan
hutan.
Lebih lanjut Coser mempunyai
pandangan yang menyebutkan bahwa, konflik tidak selamanya destruktif, melainkan
katup penyelamat (savety valve), dalam arti konflik memfasilitasi tercapainya
rekonsiliasi atas berbagai kepentingan bahkan konflik mempererat individu dan
kelompok. (M Poloma,2004:108). Selanjutnya menurut Coser, masyarakat yang
mengalami disintegrasi, atau konflik dengan masyarakat lain dengan dapat
memperbaiki kepaduan integrasi. Analisa Coser tentang konflik sebagai keterpautan
bagi komunitas sosial yang bertikai dapat diidentifikasi: pertama, sebagai
katup penyelamat. Konflik diperlukan untuk mempertahankan hubungan tanpa
cara-cara menyalurkan kebencian terhadap pihak lain, anggota kelompok cenderung
untuk menahan diri sehinga sistem sosial dapat dipertahankan dalam batas-batas
tertentu. Kedua, sebagai stabilitator sistem sosial, konflik dapat melenyapkan
unsur-unsur yang memecah belah dan menegakan kembali persatuan, serta dapat
meredakan ketegangan antara pihak-pihak yang bertentangan. Ketiga, konflik
sebagai kolektif kelompok, dalam arti bahwa suatu konflik dimana pelakunya
merasa mereka adalah wakilnya dari kelompok yang perjuangannya dilandaskan pada
ideologi tertentu dan bukan karena kepentingan individu atau pribadi, mereka
cenderung bertindak radikal. Keempat, konflik sebagai penemuan inovasi nilai
dan norma, artinya konflik menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru diantara
pihak-pihak yang bertentangan, yang sebelumnya belum tercipta sehingga
keteraturan kembali terwujud. Kelima, konflik dapat mempersatukan
individu-individu/kelompok yang sebelumnya tidak saling berhubungan sehingga
terciptanya kualisi demi kepentingan-kepentingan pelaku konflik.
E.
Defenisi
Konsep dan Defenisi Operasional
1.
Defenisi
Konsep
1.1.Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) adalah
hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan produksi yang
meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil,
pengolahan dan pemasaran hasil hutan, berdasarkan ketentuan–ketentuan yang
berlaku serta berdasarkan azas kelestarian (Hadisaputro, 2000).
1.2.Perubahan
sosial adalah
transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam
perilaku pada waktu tertentu (Macionis, 1987: 638)
1.3.Masyarakat
hukum adat adalah
kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup
berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua
anggotanya (Menurut Hasairin)
2.
Defenisi
Operasional
Beberapa
Defenisi Operasional dan pengukurannya yang dipakai dalam penelitian ini adalah
:
2.1.Sejarah
Hak Pengusahaan Hutan di Indonesia
2.2.Sejarah
Hak Pengusahaan Hutan di Pulau Yamdena
2.3.Pengetahuan
dan pandangan masyarakat tentang Hak Pengusahaan Hutan
2.4.
Identifikasi kelompok pro dan kontra Hak Pengusahaan Hutan di Desa Arma.
2.5.Pendapatan
masyarakat sebelum dan sesudah Hak Pengusahaan Hutan
2.6.
Hubungan masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari
F.
Metode
Penelitian
1.
Tipe
Penelitian
Dalam
penelitian ini metode yang digunakan untuk meneliti permasalahan yang diangkat
adalah metode penelitian kualitatif. Metodeologi penelitian kualitatif
merupakan suatu cara yang dijalankan oleh seseorang peneliti dalam menghimpun
data di lapangan. Peneliti mengunakan metode penelitian kualitatif ini untuk
berusaha memahami dan mendiskripsikan tentang perubahan sosial masyarakat Arma.
2.
Lokasi
Penelitian
Kegiatan
penelitian ini di laksanakan di Desa Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku
Tenggara Barat.
3.
Sumber
Data
Data-data yang dianalisis dalam
penelitian ini dari dua sumber yaitu :
a) Sumber
data sekunder yaitu data-data yang tertulis yang di peroleh dari lokasi
penelitian yang berupa data-data dari institusi terkait yang berhubungan dengan
penelitian.
b) Sumber
data primer yaitu data-data yang di peroleh di lokasi penelitian atau objek
penelitian.
4.
Teknik
Pengumpulan Data
Data
pada dasarnya merupakan informasi yang dipandang dapat memberikan gambaran
mengenai suatu masalah atau keadaan. Data dipandang baik apabila data itu
memperlihatkan kebenaran yang dapat dipercaya, dalam artian bisa memberikan
gambaran mengenai suatu permasalahan atau keadaan secara sempurna dan lengkap.
Dalam penelitian ini ada beberapa teknik pengumpulan data, antara lain :
a.
Informan
Kunci
Informan
menjadi orang yang sangat penting dalam mendapatkan informasi menyangkut
permasalahan penelitian ini, karena dalam penelitian informan menjadi kunci
untuk mendapatkan data empiris (R. H. Soemitro, 1985: 70). Informan dalam
penelitian ini berjumlah 20 orang yakni:
1. Satu
orang pemerintah daerah (Wakil Bupati MTB): sebagai penguasa atau pemberi
rekomendasi
2. Dua
orang tenaga kerja perusahan : satu orang staf perusahan dan satu orang buru
kasar perusahan
3. Dua
orang tim 10 yaitu tim yang menjebati kepentingan masyarakat Arma dengan
perusahaan
4. Enam
orang tokoh masyarakat : Dua orang tokoh pemerintahan dan Dua orang tokoh adat,
merupakan pemandu kepentingan masyarakat Arma.
5. Enam orang masyarakat : tiga orang yang pro
hak pengusahaan hutan dan tiga orang kontra hak pengusahaan hutan.
6. Dua
orang mahasiswa yang peran aktif dalam memberikan kontribusi.
7. Satu
orang dosen yang mempunyai pengetahuan tentang kronologis masalah hak
pengusahaan hutan di Pulau Yamdena
Alasan
memilih informan berdasarkan hasil observasi awal adalah informan yang secara
sosial pembawaan diri terhadap masyarakat yang di nilai baik, serta di dukung
dengan keaktifan mereka sebagai oknum yang berperan dalam menjembatani
masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari, organisasi pemerintahan,
agama, adat dan pemuda dalam masyarakat.
b.
Observasi.
Observasi adalah pengamatan yang
dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan
gejala-gejala sosial psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan (R. H.
Soemitro, 1985: 62). Dengan teknik ini penulis mengamati secara langsung dan
memperoleh data primer dan sekunder.
c .
Wawancara
Mendalam (Indepth Interview)
Salah satu metode pengumpulan data
di lakukan melalui wawancara mendalam yaitu suatu kegiatan dilakukan untuk
mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan pada para responden (Koentjaraningrat, 1985: 39). Dengan
teknik ini, penulis mewawancarai informan dengan berpedoman pada pedoman
wawancara terbuka yang telah disiapkan sebelumnya.
d.
Dokumentasi
Pada bagian ini penulis akan
mengumpulkan data dengan alat bantu yang digunakan adalah dokumentasi melalui
camera digital (foto), dan alat perekam suara.
5. Analisa Data
Menganalisa
data meliputi catatan lapangan untuk mencari analisis perubahan sosial
masyarakat Arma dengan masuknya PT. Karya Jaya Berdikari sebagai pengelolah
HPH. Setelah data sudah terkumpul, kemudian penulis berusaha semaksimal mungkin
untuk mengelola dan menganalisa data secara kualitatif dengan cara :
1) . Mengumpulkan
dan mengkatagorikan data penelitian sesuai tujuan penelitian yang hendak
penulis capai
2) . Analisa
data dan interprestasi data
3) .
Kegiatan verifikasi dan penarikan kesimpulan.
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A.
SEJARAH
SINGKAT DESA ARMA
Desa Arma dulu kira-kira pada abad ke
VIII M, terdapat sebuah kampung di pulau Yamdena Utara (Kepulauan Tanimbar)
yang bernama angwampuin. Kampung ini dihuni oleh seorang satria perkasa yang
bernama Kormpau Felan Andrityaman (yang dipahami moyang pertama dalam sejarah
orang Arma) bersama keluarga serta pengikut-pengikutnya. Daerah kekuasaannya
amat luas dimana sebelah utara berbatasan dengan kampung Aryata pada pulau
Tongirsoin dan sebelah selatan berbatasan dengan kampung kilmasa. Dalam sejarah
kehidupannya, tak lama kemudian pulau Arkilu dan Lenglengar yang mendirikan
kampung yang mana sebelah selatan yang berbatasan dengan Arkilu Lenglengar pada
Feninlambir. Kormpau Fenan Adrityaman itu kemudian dikenal dengan marga
Batkormbawa. Dalam proses kehidupan sehari-hari sesuai dengan tradisi adat di
Tanimbar, maka semua penghuni daerah kekuasaan Angwampuin mengaku dirinya
sebagai Lolat dan marga Batkormbawa yang merupakan keturunan dari Felan
Andrityaman sebagai Duang.
Untuk mempertahankan kekuasaan
Angwampuin yang luas itu, maka Ken lliyolik yang adalah keturunan Kormpau Felan
Andrityaman, memerintah anak-anaknya, antara lain: Alait, Awolin, dan NgongRatu
untuk memanggil dan mengumpulkan semua orang penghuni daerah-daerah kekuasaan
Angwampuin untuk diajak bermufakat guna membuat sebuah kampung.Setelah selesai
bermufakat, maka mereka memilih tempat perkampungan pada pesisir pantai,
selanjutnya guna menentukan nama apa yang diberikan pada kampung yang akan di
bangun, maka oleh Ken Ilyolik menyarankan, bahwa nama kampung tersebut adalah
Elmya yang diartikan “Suruh panggil” yang di ambil dari pengertian Ken Ilyolik
dimana menyuruh anaknya untuk memanggil dan mengumpulkan semua penghuni dari
daerah kekuasaannya guna bersatu dalam satu kampung.
Di kemudian hari Elmya lebih lasim
ditulis Ermiyau. Hal ini disebabkan oleh pelafalan dialek setempat. Selanjutnya
oleh bangsa Belanda lebih menyukai dan menyebut Elmiya dengan Arma,maka
terbentuklah kampung Ermyau (Arma) dengan penghuninya yang berasal dari
berbagai marga yang disatukan menjadi warganya. Jadi sesungguhnya kampung Arma
adalah merupakan penyamaan dari kampung Angwampuin. Sebuah kampung tua di
Tanimbar yang sejarahnya hampir punah akibat perkembangan zaman, namun dengan
adanya data-data konkrit seperti tradisi lisan yang berkembang dimasyarakat, maka
sejarah kampung tersebut bisa ditulis dan dijadikan aset bagi generasi
selanjutnya.
B.
KEADAAN
GEOGRAFIS
1.
Letak
dan Luas Wilayah
Desa Arma adalah salah satu Desa
yang berada di pesisir pantai dibawah pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggara
Barat Provinsi Maluku. Desa Arma terletak dipesisir Utara Pulau Yamdena Timur
dengan ketinggian 20-30 meter di atas permukaan laut. Desa Arma dihiasi oleh
satu tanjung yang di sebut Bat Los. Secara Geografis desa Arma berbatasan
dengan:
Ø Sebelah
Timur berbatasan dengan Desa Watmuri
Ø Sebelah
Barat berbatasan dengan Desa Makatian
Ø Sebelah
Utara berbatasan dengan Desa-desa Empat Serangkai
Ø Sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Manglusi
Dilihat letak geografis, maka Desa Arma
mempunyai luas daerah kira-kira 1000 km. Adapun transportasi yang
digunakan untuk tiba di Ibu kota
Kecamatan melalui jalur laut dengan perahu dan jalur darat yaitu dengan sepeda
motor dengan jangkauan kira-kira 15 km/mil, untuk akses ke Ibu kota kabupaten
kira-kira 107 km/mil.
2.
Keadaan
Iklim dan Musim
Desa
Arma memiliki iklim tropis, dimana terdapat dua musim yaitu musim barat dan
musum timur. Perubahan musim untuk tiap tahun rata-rata suhunya 24,2 ºC – 30,8
ºC. Pada bulan Oktober sampai bulan Maret adalah musim kemarau, bulan April
sampai September adalah musim hujan. Sedangkan bulan Februari sampai bulan
Agustus terjadi perubahan iklim yang tidak menentu (Masa Pancaroba).
C.
KEADAAN
DEMOGRAFIS
Keadaan penduduk berdasarkan Statistik
Desa Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat adalah sebanyak KK
445 dengan jumlah jiwa 2.071 jiwa. Terdiri dari Laki-laki 1.041 dan perempuan
1.030 orang. Angka jenis kelamin menurut kelompok umur di Desa Arma dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel.
1 : Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
No
|
Golongan Umur
|
Jenis
Kelamin
|
Jumlah
Jiwa
|
||
L
|
P
|
||||
1
|
0 – 5 tahun
|
185
|
192
|
377
|
|
2
|
6 – 12 Tahun
|
170
|
180
|
350
|
|
3
|
13 – 15 Tahun
|
95
|
108
|
203
|
|
4
|
17 – 18 Tahun
|
90
|
85
|
175
|
|
5
|
19 – 25 Tahun
|
110
|
122
|
232
|
|
6
|
26 – 35 Tahun
|
151
|
95
|
246
|
|
7
|
36 – 59 Tahun
|
195
|
140
|
335
|
|
8
|
60 Tahun keatas
|
53
|
100
|
153
|
|
T
o t a l
|
1.049
|
1.022
|
2.071
Jiwa
|
||
Sumber data Statistik Desa Arma, 15
September 2015
D.
KEADAAN
MATA PENCARIAN
Tabel.
2 : Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pekerjaan
No
|
Jenis Pekerjaan
|
Jenis kelamin
|
Jumlah
|
|
L
|
P
|
|||
1
|
Pegawai
Negeri Sipil (PNS)
|
17
|
13
|
30
|
2
|
Petani
|
150
|
151
|
301
|
3
|
Nelayan
|
25
|
-
|
25
|
4
|
Rumput
Laut
|
25
|
16
|
41
|
5
|
Pedagang
|
4
|
6
|
10
|
6
|
Penenun
|
-
|
13
|
13
|
7
|
Karyawan
perusahan
|
5
|
2
|
7
|
8
|
Pensiunan
|
6
|
1
|
7
|
9
|
Tukang
Kayu
|
11
|
-
|
11
|
10
|
Belum
/ Tidak Bekerja
|
886
|
740
|
1637
|
J
u m l a h
|
1129
|
942
|
2.071
|
Sumber data
Statistik Desa Arma, 15 September 2015
E.
KEADAAN
PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan salah satu
faktor yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan suatu masyarakat. Melalui
proses pendidikan seseorang dapat memperoleh pengetahuan yang luas dan sangat
berorientasi pada masa depan. Selanjutnya pendidikan merupakan salah satu
faktor yang dapat membentuk watak dan kepribadian seseorang untuk dapat
mengatur dirinya dan kehidupannya memasuki taraf hidup yang lebih baik. Mengenai
tingkat pendidikan yang pernah dinikmati oleh penduduk Desa Arma dapat di lihat
pada tabel berikut :
Tabel.
3 : Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
No
|
Tingkat
Pendidikan
|
Jenis Kelamin
|
Jumlah
|
|
L
|
P
|
|||
1
|
TK
|
19
|
18
|
37
|
1
|
SD
|
165
|
166
|
331
|
2
|
SMP
|
86
|
51
|
137
|
3
|
SLTA
|
97
|
69
|
166
|
4
|
Perguruan
Tinggi
|
69
|
37
|
106
|
5
|
Putus
Sekolah
|
35
|
11
|
46
|
6
|
Tidak/Belum
Sekolah
|
564
|
684
|
1248
|
J
u m l a h
|
1.035
|
1.036
|
2.071
|
Sumber
data : Kantor Desa Arma, 15 September 2015
F.
KEADAAN
SOSIAL MASYARAKAT
v Stuktur kemasyarakatan
Penduduk
Arma terdiri dari marga-marga asli yang sesuai dengan sejarah marga-marga
pendatang yang dipanggil dan pendatang biasa. Marga-marga yang asli antara lain
:
1. Marga
dari Kormpau Felan Anditiaman dikenal marga Batkormbawa
2. Marga
dari AmasRatu dan Aleru dikenal sebagai marga Batmomolin
3. Marga
Ken Langit dikenal sebagai marga Masela
4. Marga
Layate berasal dari marga Luturmas
5. Marga
dari Ken Rakit dikenal sebagai marga Daskuda
6. Marga
dari BowasRatu dikenal sebagai marga Pembuain
Kemudian marga-marga yang dipanggil
untuk membentuk kampung dan menanam serta mempertahankan tanah Arma yaitu :
marga Jambormias, Singerin, Siletty, Tuarlela dan Samangun. Kemudian
marga-marga pendatang lainnya yang datang menetap dan tinggal di desa Arma
seperti Kafroli, Batserin, Lerebulan, Lawalata, Akakib, Haluruk, Nimroskosu,
Teurupun, Belwawin, Soerata, Lermating, Zumah, Koritelu, Urath, Wutlanit,
Dahoklori dan Yermias.
Pembagian marga-marga tersebut dalam
masyarakat Arma diatur sebagai berikut : marga Batkormbawa adalah tuan tanah
dan kepala adat yang menjabat sebagai imam Agung (Mangsyompe Silai). Marga
Jambormias sebagai marga Nakhoda, marga Batmomolin sebagai penjaga keselamatan
rakyat.
v Keadaan Sosial
Penelitian menunjukan bawah potensi
sosial masyarakat Arma sampai saat ini berjalan secara dinamis berdasarkan
adanya kerja sama dan keharmonisan antar individu atau kelompok di kalangan
masyarakat yang saling berinteraksi. Aspek sosial Desa Arma berdasarkan kultur
atau budaya gotong royong yang tujuannya agar menjalin persaudaraan antar
sesama dalam konteks sosial. Komonikasi Bahasa yang di gunakan adalah Bahasa
Yamdena bagian timur (daerah) dan bahasa nasional (Indonesia) dalam pengenalan
jati diri masyarakat sebagai mayarakat adat dan sebagai masyarakat yang
nasionalis cinta akan budaya bangsanya. Hubungan kekeluargaan di antara
masyarakat terjalin dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf
hidup dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat desa Arma juga mempunyai
toleransi yang cukup tinggi serta adanya rasa saling menghargai satu sama lain
Desa Arma di pimpin oleh kepala Desa dan
di bantu oleh badan legislatif desa serta kaur-kaur di bawah komando secara
prosedur dan di dukung oleh masyarakat secara umum. Tak terlepas dari kondisi
sosial yang di miliki oleh masyarakat Arma bahwa potensi yang dimiliki cukup
beragam dan kedapatan bawah terdapat beberapa marga Batkormbawa, Jambormias,
Daskunda, Batmomolin, Siletty dan sebagainya. Tentunya bawah realitas yang di
jumpai dalam kehidupan masyarakat sering kedapatan berbagai konflik yang
terjadi antar tetangga maupun antar daerah yang turut memberi ketidaknyamanan
bagi kehidupan masyarakat desa Arma. Sering terjadi konflik atas hak perdata
(batas tanah) antara pemerintah desa, dan juga masyarakat di desa Arma pribadi
yang sentiment cukup kuat maupun konflik antar desa Arma dan Watmuri.
v Keadaan Ekonomi
Perekonomian di Desa Arma dapat di
katakan cukup maju, karena di lihat pada cukupnya ketersediaan 9 (sembilan)
bahan pokok dan juga daya beli masyarakat yang cukup baik, yang menjadi pusat
perbelanjaan yang dapat di jangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat
pada Desa Arma memiliki beragam mata pencaharian baik di bidang pertanian
(petani), kelautan (nelayan) pemerintahan (PNS), wiraswasta dan lain
sebagainya. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2014, di tinjau dari tingkat
perekonomian penduduk desa Arma mengalami peningkatan seiring dengan
peningkatan adanya jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan. Secara ekonomi
masyarakat desa Arma berada dalam kondisi masyarakat yang memiliki tingkat
perekonomian yang sangat relatif artinya bahwa masyarakat pada desa Arma
tersebut terdapat anggota masyarakat yang ekonominya lemah, menengah dan
ekonomi atas.
G.
SARANA
DAN PRASARANA
Sarana perhubungan dari desa Arma ke ibu
kota kecamatan (Tutukembong) dan Saumlaki sebagai ibu kota kabupaten di
hubungkan dengan jalan darat dengan konstruksi jalan beraspal. Dan jalur laut
dengan mengunakan motor laut.
Tabel. 4 : Sarana dan Prasarana
No
|
Sarana
dan Prasarana
|
Jumlah
|
Total
|
1.
2.
3.
4.
|
Sarana Peribadatan
a.
Gedung Gereja
b.
Kunci Stori
Sarana Pendidikan
a.
Gedung TK
b.
Gedung SD
c.
Gedung SMP
d.
Asrama Guru
Sarana Kesehatan
-
Puskesmas
Sarana Perkantoran
- Gedung
Kantor Desa
|
1
1
1
3
1
2
1
1
|
1
1
1
3
1
2
1
1
|
T
o t a l
|
11
|
11
|
Sumber data : Kantor Desa Arma, 15 September
2015
H.
STRUKTUR
PEMERINTAHAN DESA ARMA
BAB III
ANALISA HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN
PERUBAHAN SOSIAL
MASYARAKAT ARMA
Kehidupan
manusia pada umummya berada dalam satu lingkungan yang mendorong setiap
individu untuk berada dalam sebuah kumpulan yang disebut masyarakat. Kehidupan
masyarakat itu selalu mengalami sebuah dinamika perubahan yang dapat menadikan
kehidupan masyarakat itu baik atau buruk dan sebaliknya. Akibatnya akan
mendorong pula berbagai pola perubahan dalam masyarakat seperti perubahan
sosial yang terjadi pada masyarakat Arma dengan hadirnya hak pengusahaan hutan
untuk mengeksploitasi hak wilayat masyarakat setempat.
A.
Sejarah
Hak Pengusahaan Hutan di Indonesia
Pengelolaan hutan Indonesia banyak dipengaruhi oleh
perubahan dinamis dalam kebijakan pemerintah dan kondisi perekonomian negara.
Kebijakan pengelolaan hutan dapat dikelompokkan ke dalam empat periode, antara
lain;
a. Pertama, 1950-1975, kebijakan untuk
perluasan areal pertanian ke wilayah hutan, yang menyebabkan bencana alam
seperti banjir, terutama di pulau Jawa,
b. Kedua, 1975-1990, kebijakan untuk
menerbitkan izin hak pengusahaan hutan,
c. Ketiga, 1990-1997, pemerintah mulai memberi
perhatian pengelolaan hutan DI luar kawasan hutan dan
d. Keempat, 1997 hingga sekarang, era
reformasi dengan perubahan politik yang cukup signifikan setelah runtuhnya
pemerintahan orde baru.
“Jauh sebelum Indonesia merdeka, kebijakan pengelolaan hutan
dan lahan selama zaman kolonial sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah
Indonesia di kemudian hari dalam menetapkan kerangka peraturan dan kebijakan
hutan nasional,” (Sumber :tulis peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR),
Ani Adiwinata dan Staf Pusat Penelitian Sosial-Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan,
Balitbang Kehutanan Departemen Kehutanan, Lukas Rumboko.)
v Kurun waktu 1950-1975
Deforestasi di Indonesia berlangsung cukup panjang. Semasa
penjajahan Belanda dan Inggris, penebangan hutan (deforestasi) terjadi atas
kebijakan perdagangan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang
mengizinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi dan pembuatan kapal.
Kegiatan ini didukung kebijakan izin pembukaan lahan untuk kepentingan
pertanian agar beroleh pendapatan dari pajak bumi melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel).
Sistem ini memaksa perubahan fungsi hutan menjadi kebun tebu, kebun kopi, kebun
nila dan kebun karet.
Kegiatan penebangan hutan ini masih terus berlanjut selama
masa kependudukan Jepang, 1942-1945. Sebagian besar deforestasi pada zaman itu
disebabkan oleh penebangan hutan jati dan hutan alam sebanyak dua kali lipat
jatah tebangan tahunan. Tindakan ini bertujuan untuk membiayai perang. Setelah
melakukan penebangan, lahan disewakan kepada penduduk untuk ditanami tanaman
pangan. Khusus di Pulau Jawa semasa Jepang berkuasa kurang lebih 4.428 hektar
hutan telah dibuka menjadi lahan pertanian.
Setelah Indonesia merdeka, kegiatan penebangan hutan terus
berlanjut, terutama di pulau Jawa, di mana sekitar 500.000 hektar lahan
(sekitar 17% dari total luas wilayah hutan) mengalami deforestasi, sehingga
meningkatkan frekuensi banjir dan erosi tanah. Penebangan kayu di hutan menjadi
masalah serius pada awal 70-an, seiring dengan kebijakan pemerintah
meningkatkan laju ekonomi nasional. Kebijakan ini ditandai dengan keluarnya
izin penebangan kayu untuk pengusaha di hutan pulau Jawa.
v Hampir Dua Dasawarsa, 1975-1990
Pemasukan negara meningkat pesat sejalan kenaikan harga
minyak dunia. Pemerintah juga menerima pemasukan keuangan dari sektor industri
kayu melalui kebijakan penerbitan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Menurut data
Departemen Kehutanan, 2005, hingga Juni 2000, wilayah hutan yang dikelola
perusahan HPH mencapai 41 juta hektar.
Studi lainnya menyatakan bahwa pemerintah telah
mengalokasikan lebih dari 60 juta hektar kepada perusahan HPH selama lebih dari
30 tahun dimana Provinsi Kalimantan Timur merupakan fokus utama dalam
pelaksanaan kebijakan penebangan hutan. Oleh karena operasi penebangan perlu
banyak tenaga kerja, pemegang HPH perlu mencari tenaga untuk bekerja di daerah
terpencil. Program transmigrasi yang memindahkan penduduk dari Jawa dan Bali ke
pulau lain, telah mendukung para pemegang HPH dengan penyediaan tenaga kerja
untuk industri kayu sejak 1980-an. Program transmigrasi ini berdampak pada
lingkungan. Lokasi transmigrasi dibuka dengan jalan membuka hutan yang
dimanfaatkan pula sebagai lahan pertanian.
Kebakaran hutan besar terjadi pertama kali tahun 1982-1983
dan mengakibatkan kerusakan hutan yang semakin besar. Penyebab utama kebakaran
adalah El Nino yang membakar hutan kurang lebih seluas 3,2 juta hektar dimana,
2,7 juta hektar dari luasan tersebut merupakan hutan hujan tropis paling
penting di Kalimantan dan Sumatera. Tingkat kerusakan akibat kebakaran wilayah
hutan berhubungan langsung dengan tingkat kerusakan hutan.
v Sewindu berlangsung, 1990-1997
Penebangan hutan terjadi di luar kawasan menjadi perhatian
utama pemerintah dalam hal pengelolaan. Penebangan umumnya dilatarbelakangi
perubahan fungsi hutan secara besar-besaran untuk menjadi areal perkebunan
seperti, kelapa sawit. Mengutip Kartodihardjo dan Supriono, 2000, Departemen
Kehutanan mengeluarkan semakin banyak izin alih fungsi kawasan hutan untuk
perkebunan, kurang lebih seluas 6,7 juta hektar sampai dengan tahun 1997.
Diperkirakan akan terjadi defisit dan perubahan fungsi hutan seluas 1,6 juta
hektar sebagai akibat dari rencana pemerintah memperluas areal perkebunan
kelapa sawit melalui Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan pengembangan perkebunan
lainnya yang memerlukan penambahan lahan seluas 9 juta hektar.
Akibat tekanan LSM dan kritik tajam dunia internasional atas
ketidakberesan pengelolaan hutan Indonesia, operasi penebangan hutan secara
intensif terus berlangsung selama periode ini. Pemerintah kemudian menyatakan
komitmennya untuk mencapai hutan berkelanjutan sebelum tahun 2000. Sebagai
contoh, pembentukan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang menetapkan penilaian
pengelolaan hutan berdasarkan prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan.
Kehadiran LEI telah mengakibatkan pencabutan izin pengusahaan hutan yang
dianggap tidak memenuhi prinsip kelola hutan berkesinambungan.
v Dari 1997 Hingga Usai Reformasi
Kebakaran hutan, pelaksanaan otonomi daerah berikut
konsekuensinya, penebangan liar serta peningkatan kasus perambahan hutan
merupakan faktor-faktor utama yang terus menyebabkan penebangan hutan. Kondisi
ini mengancam keberlanjutan wilayah hutan Indonesia yang kurang lebih masih
tersisa sekitar 120,35 juta hektar. Pada tahun 1997-1998, terjadi kebakaran
hutan kedua yang merusak sekitar 9,8 juta hektar lahan termasuk wilayah hutan
seluas 5,4 juta hektar yang sebagian besar terdapat di pulau Kalimantan dan
Sumatera.
Tahun 1998 merupakan tahun penting dalam perubahan politik
di Indonesia dan permulaan era reformasi setelah rezim Soeharto tumbang.
Perubahan situasi politik ini diikuti semakin gencarnya tuntutan dari
masyarakat atas manfaat dari hutan. Ditandai dengan peningkatan kasus
perambahan hutan dalam kawasan hutan. Kasus konflik, seperti tuntutan yang
tumpang tindih atas sumber daya hutan antara kelompok masyarakat dan pemerintah
daerah atau perusahan kehutanan, sering terjadi hampir di setiap provinsi.
Perubahan paling siginifikan dari reformasi adalah
berlakunya kebijakan otonomi daerah pada akhir 1998. Berbagai kebijakan membuka
peluang bagi masyarakat untuk ikut terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan.
Salah satu kebijakan tersebut memberikan izin hak pemanfaatan hutan seluas 100
hektar kepada kelompok masyarakat. Kegiatan penebangan kemudian dikelola secara
intensif oleh masyarakat berdasarkan izin hak pemanfaatan hutan skala kecil
yang dikeluarkan pemerintah daerah, di bawah kendali sistem desentralisasi,
tanggung jawab pemerintah kabupaten lebih besar dibandingkan pemerintah
provinsi dalam pengelolaan sumber daya hutan.
(Disarikan dari tulisan Peneliti
Center for International Forestry Research (CIFOR), Ani Adiwinata dan Staf
Pusat Penelitian Sosial-Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Balitbang Departemen
Kehutanan, Lukas Rumboko. Dalam buku ”Rehabilitasi Hutan di Indonesia : Akan
kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa, 2008)
B.
Sejarah
Hak Pengusahaan Hutan di Pulau Yamdena
Salah satu wilayah yang mempunyai potensi penghasil
kayu hutan tropis adalah Pulau Yamdena, sebuah pulau terbesar dalam gugusan
Kepulauan Tanimbar yang berada di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi
Maluku. Pulau yang mempunyai luas 325.725 ha ini telah dilakukan eksploitasi
oleh PT. Alam Nusa Segar dengan SK Menteri Kehutanan Nomor. 215/Kpts-II/1991
tanggal 23 April 1991 dengan luas 164.000 Ha. Kemudian di-addendum dengan SK
Menteri Kehutanan Nomor. 1107/Kpts-II/1992 tanggal 12 Desember 1992 dan
berganti nama PT. Yamdena Hutani Lestari dengan luas 160.725 Ha. Dikarenakan perusahan Yamdena Hutani Lestari
melakukan eksploitasi berlebihan maka perusahan ini dicabut oleh Menteri Kehutanan dengan SK pencabutan Nomor. 200/Menhut-II/2007
tanggal 16 Mei 2007.
Keberadaan isu degradasi hutan di
Pulau Yamdena telah berkembang dari kalangan masyarakat setempat, Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM), pemerintah daerah maupun instansi internasional (Uni
Eropa, CIRAD Perancis dan Bird Life). Pada saat ini, isu yang diangkat terhadap
degradasi hutan di wilayah ini mengarahkan kesalahan kepada pihak investor yang
mengeksploitasi hutan berlebih dan juga pemerintah yang telah membagi tata
ruang wilayah yang kurang tepat. Pada awalnya penetapan areal yang dapat
dieksploitasi berpedoman pada Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang
diterbitkan sekitar tahun 1980-an. Pada Tahun 2003 pemerintah daerah menetapkan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang
ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor.10 Tahun 2003 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat, yang merupakan adopsi dari Peta
Kawasan Hutan dan Perairan Tahun 1999 (SK Menteri Kehutanan Nomor
415/Kpts-II/1999). Dengan Desakan dan masukan berbagai kalangan maka Bupati
Maluku Tenggara Barat mengeluarkan Surat Keputusan Nomor.522071-Tahun 2006
tentang Usulan Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan Pulau Yamdena
Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Kemudian disusul Surat Dukungan DPRD Kabupaten
Maluku Tenggara Barat Nomor.170/127/RDPR-MTB/IV/2006 tentang dukungan DPRD
Kabupaten Maluku Tenggara Barat terhadap Permohonan Penilaian hingga Pengesahan
Usulan Perubahan Status Lahan dan Fungsi Kawasan Hutan Pulau Yamdena.
Keberadaan hutan di Pulau Yamdena
merupakan aset yang perlu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
kayu dan pemenuhan pendapatan daerah setempat. Pengelolaan hutan harus
dijalankan dengan kaedah profesional dengan pertimbangan kelestarian hasil
maupun kelestarian lingkungan. Pertimbangan hal tersebut maka pemerintah
membuka peluang lagi bagi investor untuk mengeksploitasi hutan Yamdena. Pada
Tahun 2007 Gubernur Maluku memberi rekomendasi (Nomor.522.1126) kepada PT.
Karya Jaya Berdikari (KJB) memanfaatkan hasil hutan kayu di wilayah Pulau
Yamdena, begitu juga untuk Bupati Maluku Tenggara Barat lewat Surat Rekomendasi
Bupati Nomor.522/093/Rek/2007 sedangkan Surat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu dari Menteri Kehutanan dikeluarkan pada tanggal 19 Maret 2009 dengan
SK.117/Menhut-II/2009.
Ada
beberapa alasan mengapa pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat memberikan
rekomendasi kepada PT. Karya Jaya Berdikari sebagai hak pengusahaan hutan di
pulau Yamdena. Alasan itu bisa terungkap secara spontan, berdasarkan hasil
pengamatan dan hasil wawancara bersama informan dapat di analisa sebagai
berikut :
Yang saya ketahui ada tiga alasan pemerintah Kab. MTB kasih
rekomendasi kepada PT. Karya Jaya Berdikari yakni alasan pertama : Penebangan
hutan secara liar oleh masyarakat adat tak terkendalikan, alasan kedua : Dampak
ekonomi dari eksploitasi hutan Yamdena oleh perusahan HPH, sangat signifikan
terhadap peningkatan ekonomi kerakyatan, alasan ketiga :. Untuk peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD).( Hasil wawancara dengan Wakil Bupati MTB (Bpk. P.
Werbinan)
Dalam
presprektif sosiologi seperti halnya di jelaskan oleh Weber bahwa tindakan
Sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka.
Hubungan sosial menurut Weber yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor yang
berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan
kepada tindakan orang lain.
Dalam hal ini pemerintah daerah
memegang peranan penting atau mempunyai otoritas untuk mengeluarkan dan
memberikan rekomendasi kepada PT. Karya Jaya Berdikari sebagai hak pengusahaan
hutan di Pulau Yamdena, hal ini disebabkan karena atas dasar pertimbangan
positif guna menyelamatkan dan mensejahterakan hajad hidup orang banyak
(masyarakat MTB).
Proses masuknya hak pengusahaan hutan di desa Arma ialah
sejak awal para kepala desa selaku pemilik hak ulayat dan PT Karya Jaya
Berdikari melakukan penandatanganan bersama tanpa ada sosialisasi bagi
masyarakat lantas perusahan ini melakukan aktivitas di hutan Yamdena secara
diam-diam. 87 kepala desa secara terpaksa harus menandatangi persetujuan
pengoperasian hak pengusahaan hutan di tahun 2009 lalu.
Kekuatan besar yang tidak dapat dibendung masyarakat yang
dijuluki Duan Lolat, dengan tampuk kekuasaan yang menyedot sebagian pikiran
rakyat terhadap dukungan penyebaran aktivitas penebangan hutan di pulau Yamdena
yang jauh melangkahi aturan-aturan normatif pada tataran adat istiadat orang
Tanimbar.
Seperempat areal hutan pulau Yamdena telah di keruk hasilnya
oleh perusahan tersebut. Sejumlah alat berat yang beroperasi di Kecamatan
Nirunmas, Petuanan Desa Arma, Alhasil, menimbulkan kontroversi dan ketegangan
dari kalangan akar rumput, dan warga setempat yang punya perhatian terhadap
masa depan pulau ini, terhadap generasi mendatang yang mendiami pulau ini.
Dari konsep izin lingkungan, analisis risiko lingkungan,
audit lingkungan, prinsip pencemaran membayar (polluters must pay principle),
dan sebagainya, diharapkan akan menjadi garda formal terdepan dalam mengawal
pelestarian lingkungan, dan dibarengi dengan kesinambungan penerapannya sesuai
aturan undang-undang. Hal membuat kalangan industri/perusahan semakin menciut
nyalinya untuk mangkir terhadap kewajibannya selaku pengelola
lingkungan/hutan.
C.
Pengetahuan
dan pandangan masyarakat Arma tentang Hak Pengusahaan Hutan
Pada
prinsipnya pengetahuan manusia berbeda-beda satu dengan yang lain, begitu juga
dengan masyarakat Desa Arma pengetahuannya pun berbeda-beda satu dengan lainnya
baik antar individu maupun kelompok itu sendiri, dalam kaitannya dengan hak
pengusahaan hutan. Untuk mengetahui tanggapan serta jawaban dari informan
tentang pandangan masyarakat terhadap hak pengusahaan hutan sangatlah menarik
untuk dicermati, ketika penulis bertanya apa dan bagaimana atau sikap
masyarakat terhadap hak pengusahaan hutan maka informan mengatakan bahwa ;
Secara
umum masyarakat Arma tidak mengerti tentang HPH, walaupun pernah mendengar HPH
tapi tidak pernah mengerti tentang HPH itu sendiri. Karena masyarakat Arma
punya pandangan terbatas tentang HPH itu sendiri. (Hasil wawancara dengan
kepala Desa Arma, Bpk. J. Batkormbawa)
Setelah
diwawancarai informan dengan memberikan alasan tentang pengetahuan masyarakat
Arma secara umum terkait dengan hak pengusahaan hutan. Dengan gagasan tersebut
maka ada upaya pemerintah Desa Arma dalam hal ini tim sepeuluh (tim yang
mempunyai tugas dan fungsi untuk menjembatani kepentingan masyarakat Arma
dengan PT. Karya Jaya Berdikari) yang bekerja sama dengan PT. Jaya Karya
Berdikari untuk mensosialisasikan hak pengusahaan hutan kepada masyarakat Arma.
Dengan hadirnya tim sepuluh untuk mensosialisasikan hak pengusahaan hutan
sangatlah menarik untuk untuk decermati.
Sebenarnya
beta tidak paham tentang HPH itu sendiri, walaupun istilahnya suda tren dan
lasim untuk beta dengar tapi beta tidak mengerti jelas tentang HPH. Makanya kerja
keras dari pemerintah desa Arma untuk hadirkan orang-orang yang di anggap punya
kemampuan dan mengerti betul tentang HPH untuk sosialisasi for katong samua.
Tapi jujur ketika dong kasih sosialisasi tentang HPH katong semua langsung
mengerti tentang HPH itu sendiri. (Hasil wawancara dengan Bpk. J. Akakip)
Berdasarkan penjelasan informan
diatas dikatakan bahwa pada umumnya masyarakat Arma tidak paham tentang hak
pengusahaan hutan secara baik namun lewat sosialisasi yang dilakukan, ada
pencerahan pandangan masyarakat tentang hak pengusahaan hutan itu sendiri.
Dengan berbagai kontribusi pencerahan lewat sosialisasi maupun rapat umum hal
ini tidak menjadi jaminan bagi masyarakat untuk tidak berkonflik namun
sebaliknya terjadi kontraversi dalam masarakat sehingga muncul konflik sosial
dalam masyarakat.Ketika penulis bertanya apa dan bagaimana atau sikap
masyarakat terhadap hak pengusahaan hutan maka informan mengatakan bahwa ;
Ya saya pribadi setuju ada HPH karena ternyata HPH masuk
saya mendapat HP gratis dari perusahan bahkan juga kita dapat uang… kira-kira
sapa mau kasih kita HP gratis dan ada cara untuk dapatkan uang..? (hasil
wawancara dengan Bpk. Otis Feninlambir)
Berdasarkan pandangan informan
diatas maka dapatlah penulis jelaskan bahwa ternyata pengetahuan informan
tentang hak pengusahaan hutan sangat terbatas hanya pada kebutuhan –kebutuhan
mendesak yang bersifat pragmatis. Artinya informan tidak menyadari bahwa adanya
hak pengusahaan hutan bagi kelestarian lingkungan hidup juga serta untuk masa depan
anak cucu, kekurangan air tanah,
ketandusan tanah dan sebagainya. Demikian juga dengan nilai keuntungan
perusahan pemegang hak pengusahaan hutan yang ternyata ribuan kali dari pemilik
hak petuanan yang berdasarkan pandangan tersebut hanya diberikan apa yang
sepertinya menarik namun secara rasional sangat rendah nilai ekonomis maupun
nilai sosialnya.
Selanjutnya
ada juga kelompok informan yang ternyata secara terang-terangan menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap keberadaan hak pengusahaan hutan dan bahkan
merekapun berani melakukan protes, perlawanan atau bahkan resistensi terhadap
keberadaan hak pengusahaan hutan sebagaimana dapat penulis paparkan dalam hasil
wawancara berikut :
Oh
saya tidak. Saya tolak keras keberadaan HPH karena kita ini masyarakat petani.
Saat HPH masuk lahan kita makin sempit, hutan gundul dan kenyataannya
sumber-sumber air juga menjadi kering. Akibatnya kita di Arma harus ambil air
di kampung sebelah. Inikan pertanda satu bahaya besar. Artinya kalau sekarang
saja kita sudah alami kesulitan demikian, apalagi keadaan anak cucu kita pada 5
atau bahkan 10 tahun mendatang.? Lalu kita lihat lagi tentang HPH masuk di Desa
Wermatang, Desa Bomaki dan Desa Batu Putih dampaknya sangat sunguh luar biasa.
Artinya hasil hutan di ambil habis oleh HPH, konflik dalam masyarakat adat,
kesejahteraaan tidak di jamin oleh pemda maupun HPH. (Rangkuman hasil wawancara
dengan beberapa informan yang secara tegas menolak keberadaan hak pengusahaan
hutan di Desa Arma awal September hingga pertengahan September 2015)
Berdasarkan pandangan informan diatas
maka ada beberapa hal penting dan mendasar yang ternyata melatarbelakangi sikap
dan pandangan informan yang menolak keberadaan hak pengusahaan hutan di Desa
Arma sebagai berikut :
1. Ternyata
informan merasakan kesulitan sebagai akibat dari lahan pertanian yang terasa semakin
sempit. Hutannya sempit bahkan pertanian tersebut sesungguhnya melupakan
sesuatu yang sangat rasional dan logis bagi cara bercocok tanam orang Arma
maupun Tanimbar umumnya. Karena sistem pertanian mereka selalu mengunakan pada
sistem perladangan berpindah sehingga penguasaan hutan (HPH) oleh PT. Karya
Jaya Berdikari menjadi sebuah ancaman utama bagi kebiasaan dan sistem
perladangan berpindah yang ada di Desa Arma.
2. Kesulitan
air bersih disadari menjadi ancaman serius bagi kehidupan masyarakat Arma.
Informan benar-benar sadar dan tahu persis bahwa air merupakan hal penting dan
sejak hak pengusahaan hutan masuk dampak kekurangan air bersih langsung terasa
dalam kehidupan masyarakat Arma.
3. Demikian
informan sadar bahwa dalam kenyataannya sejak hak pengusahaan hutan banyak dan
sering terjadi konflik di Desa Arma sendiri baik konflik yang bersifat vertikal
antara masyarakat dengan PT. Karya Jaya
Berdikari maupun konflik yang bersifat horizontal antara kelompok masyarakat
pro dan kelompok masyarakat kontra. Dan ini adalah situasi yang sangat tidak
dikehendaki oleh informan.
4. Melirik
kembali kebelakang ternyata kehidupan sosial masyarakat di Desa Wermatang, Desa
Bomaki, Desa Batu Putih di tahun 90-an dengan keberadaan hak pengusahaan hutan
di petuanan hukum adat masing-masing desa tersebut merupakan dasar tolak masyarakat dengan
keberadaan hak pengusahaan hutan di Desa Arma saat ini.
D.
Identifikasi
Kelompok Pro dan Kontra Hak Pengusahaan Hutan di Desa Arma
a.
Kelompok
Pro (Menyetujui) dan Kelompok Kontra (Menolak)
Secara
umum dapat di gambarkan bahwa dalam pengolahan hutan oleh hak pengusahaan hutan
di sejumlah daerah di Indonesia (Maluku) selalu saja terjadi konflik sosial,
hal ini di akibatkan terjadinya kontraversi antara masyarakat setempat sebab
ada masyarakat yang menyetujui dan tidak menyetujui hak pengusahaan hutan
beroperasi di hak ulayatnya.
Secara
singkat dikatakan bahwa masuknya hak pengusahaan hutan di Desa Arma pada tahun
2011, hal ini berawal dari penandatangan kepala Desa Arma pada lembaran
kesepakatan kerja sama masyarakat Arma dengan
PT. Karya Jaya Berdikari di tahun 2009 silam.
1.
Kelompok
Pro (menyetujui) Hak Pengusahaan Hutan
Secara
umum setiap indivdu atau kelompok mempunyai alasan untuk melakukan segala
sesuatu dibalik tindakannya sehingga apa yang menjadi prioritas pertamanya
bagian dari pada pilihannya. Sangat menarik ketika melihat kondisi sosial
masyarakat Arma dengan adanya hak pengusahaan hutan untuk mengeksploitasi hak
ulayat masyarakat maka dapat dicermati lewat tanggapan dan respon dari informan
berikut ini.
Menurut
saya kalau katong lihat sama-sama menyangkut operasi HPH di Desa Arma
sebetulnya masyarakat dong harus mengerti bahwa HPH itu bagus karena secara
tidak langsung katong di beri kesempatan untuk kerja di perusahan lalu adanya
bantuan dari perusahan untuk Desa Arma. Kalau bukan perusahan berarti Desa Arma
ini tidak ada perkembangan sama sekali. (Hasil wawancara dengan Bpk. Oto
Siletty)
Berdasarkan
hasil wawancara dan pengamatan di lapangan bahwa masyarakat yang menyetujui
masuknya hak pengusahaan hutan di Desa Arma karena minimnya pengetahuan
masyarakat Arma tentang hak pengusahaan hutan, adanya kesempatan kerja serta
peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar. Namun ada sisi lain yang
menarik untuk mengoda masyarakat menerima hak pengusahaan hutan untuk
beroperasi. Dapat di simak dengan perbincangan informan berikut ini.
Menurut
saya tentang menyetujui masuknya PT. Karya Jaya Berdikari untuk mengeksploitasi
hasil hutan yaitu adanya negosiasi PT. Karya Jaya Berdikari dengan masyarakat
Arma, dengan butir-butir kesepakan sebagai berikut;
1.
Kompensasi
dari PT. Karya Jaya Berdikari kepada masyarakat Arma
2.
Pengadaan
sarana penerangan
3.
Asrama
mahasiswa
4.
Beasiswa
bagi masyarakat Arma yang lanjut S2
5.
Perekrutmen
tenaga kerja
6.
Air
bersih
7.
Reboisasi
8.
Perbaikan
Infrastruktur
9.
Tanggung
jawab terhadap anak-anak Arma yang ingin tes Polisi maupun Tentara
(Hasil wawancara dengan
tim 10 Bpk. Poly. Masela)
Dengan
demikian pada diskusi diatas dapat di simpulkan bahwa ada maksud tertentu
individu atau kelompok masyarakat yang menyetujui hak pengusahaan hutan untuk
mengeksploitasi hak petuanan masyarakat Arma karena individu atau kelompok yang
menyetujui mendapat perhatian penuh dari PT. Karya Jaya Berdikari.
Seperti
pada Teori Pertukaran Sosial oleh George
C. Homans dikatakan bahwa “Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin
sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang
tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi”, Makin tinggi nilai hasil suatu
perbuatan bagi seseorang maka makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut
di ulangnya kembali. Letak pembeda utama teori Homans ini memiliki tiga ciri:
1. Pertama, Dasar dari perilaku sosial itu pada
pokoknya ialah proses pertukaran perilaku.
2. Kedua, perilaku sosial pada dasarnya
berjalan secara alami dan spontan muncul pada saat mengadakan interaksi.
3. Ketiga, perilaku sosial pada dasarnya
disebut dyad pada group kecil dan ini merupakan pondamen dasar dari hubungan
sosial yang lebih besar.
Teori pertukaran sosial menelaah
kontribusi seseorang dalam suatu hubungan mempengaruhi kontribusi orang lain.
Dengan mempertimbangkan konsekuensi, khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh
dan upaya yang telah dilakukan, orang akan memutuskan untuk tetap tinggal dalam
hubungan tersebut atau meninggalkannya.
Hubungan masyarakat yang menyetujui
masuknya hak pengusahaan hutan dengan PT. Karya Jaya Berdikari melalui sebuah
proses interaksi sosial dalam membangun hubungan. Pola-pola perilaku dalam
interaksi sosial, hanya akan langeng jika semua pihak yang terlibat merasa
teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan
perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika
merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Seiring
dengan pro hak pengusahaan hutan sehingga penulis bertanya apa dan bagaimana
atau sikap masyarakat pro terhadap hak pengusahaan hutan maka informan
mengatakan bahwa :
Bukan
saja negosiasi baru saya terima HPH tapi kalau mau dilihat bahwa HPH itu
merupakan basis keuntungan masyarakat Arma, tergantung katong lihat peluang
mana yang cocok untuk katong jadikan HPH sebagai modal usaha. Contoh saja di
tahun ini (2015) masyarakat Arma melakukan salah satu kegiatan menyongsong 17
Agustus, bantuan dana maupun mobil itu katong dapat semua dari HPH. (hasil wawancara dengan Sdr. Jems
Luturmas).
Berdasarkan
pandangan informan diatas maka penulis dapat jelaskan bahwa yang menjadi tolak
ukur untuk masyarakat pro hanya melihat pada kebutuhan dan keuntungan jangka
pendek atau kepentingan semata, tidak melihat pada hal-hal yang sifatnya prinsipil
yang dapat merugikan masyarakat pada saat ini maupun masa yang akan datang.
2.
Kelompok
Anti (Menolak) Hak Pengusahaan Hutan
Secara
kasat mata dapat lihat bahwa perjuangan menolak hak pengusahaan hutan bukan
hanya sekedar perjuangan sepeleh namun perjuangan untuk menolak hak pengusahaan
hutan adalah perjuangan sangat sungguh luar biasa. Upaya-upaya yang dilakukan
masyarakat Arma untuk menolak hak pengusahaan hutan di Desa Arma merupakan
suatu usaha yang menguras tenaga, waktu, biaya dan lain sebagainya. Sangat
menarik ketika didiskusikan hal ini dengan informan.
Pada
prinsipnya masyarakat tidak mengerti dan mengetahui persis apa sebenarnya HPH
itu sendiri, sehingga mudah sekali di pengaruhi oleh pihak ketiga (tim 10 orang
Arma yang berdomisili di kota Saumlaki) yang memberikan informasi serta
memprofokasi masyarakat sehingga masyarakat dapat menerima dan menyetujui
masuknya perusahan untuk beroperasi, karena cara yang digunakannya ialah
janji-janji manis (penerangan, pengadaan asrama mahasiswa, beasiswa bagi
mahasiswa, kopensasi untuk setiap keluarga, perbaikan infrastruktur, pengadaan
air bersih dan lain sebagainya) yang membuat sehingga masyarakat merasakan
bawah ada sesuatu yang luar biasa demi kepentingan dan kemajuan masyarakat Arma
secara umum dan pribadi secara khusus. Atas dasar inilah sehingga sebagian
besar masyarakat Arma menerima PT. Jaya Karya Berdikari untuk beroperasi atau
mengeksploitasi hasil hutan (hak ulayat) milik masyarakat tersebut. Sangat
kasihan kalau masyarakat Arma itu terima HPH, coba lihat kembali ke belakang
tentang HPH di Pulau Yamdena, terlebih khusus di Desa Wematang, Desa Bomaki
yang waktu itu HPH beroperasi di lokasi tersebut, apakah masyarakat sejahtera.?
Malahan dong biking masyarakat bakalai satu sama lain. (hasil wawncara dengan
Bpk. J. Tuarlela)
Dalam
diskusi penulis dengan informan di sampaikan bahwa “Melirik kembali kebelakang
pada masa memprotes dan mengusir hak pengusahaan hutan dari Pulau Yamdena
dengan berbagai alasan yang rasional maupun tidak rasional, di-era tahun 90-an
Masyarakat Adat di Pulau Yamdena yang mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat
telah melakukan aksi brutal (serang menyerang antara masyarakat adat dengan
karyawan perusahan dan dengan TNI-POLRI) sebagai ungkapan protes dan penolakan
terhadap aktivitas Perusahan hak pengusahaan hutan di Pulau Yamdena. Seluruh aktivitas
eksploitasi hutan Yamdena oleh Perusahan HPH akhirnya berhenti pada Tahun 1999,
akibat dihentikan paksa oleh Masyarakat Adat dengan dukungan dari Lembaga
Agama, Organisasi Kepemudaan, Organisasi Masyarakat, NGO dan para Cendikiawan
asal Tanimbar.”
Dalam situasi dan kondisi masyarakat
Arma dengan hadirnya hak pengusahaan hutan maka dapat di berikan keterangan
tentang alasan individu atau kelompok masyarakat Arma yang menolak hak
pengusahaan hutan berikut ini :
Satu hal ade musti tahu bahwa, masyarakat kecil (masyarakat
Arma) tidak bisa melawan dua hal ini yakni pengusaha dengan penguasa kalau
tidak ada dukungan dari semua pihak. Kami sangat menolak HPH masuk di Desa Arma
ini, kenapa demikian karena katong pu hutan itu masih perawan, dan itu hutan
adat lalu masyarakat Arma inikan masyarakat petani yaitu sistim pertanian itu
berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain jadi mau tidak mau kami tetap
optimis untuk tolak dan lawan. Makanya ada aksi-aksi yang katong buat baik itu
demo maupun bakar camp perusahan. (Hasil wawancara dengan Sdr. Kristian
Batkormbawa)
Jelaslah
bahwa yang menjadi harga mati untuk kelompok masyarakat Arma menolak hak
pengusahaan hutan ialah pertama, masyarakat Arma adalah masyarakat yang
latarbelakangnya petani, sehingga sistem perladangan berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat yang lain, kedua, kebutuhan hidup masyarakat Arma terbatas
(tidak diberi kebebasan untuk mengolah hutan secara bebas) karena hak ulayat di
ambil alih oleh hak pengusahaan hutan, ketiga, mengingat generasi berikutnya
untuk melanggsungkan hidup keempat, mengingat musim kemarau terjadi kekeringan
di Desa Arma dan apabila ingin mengambil air untuk kebutuhan rumah tangga dan
sebagainya harus di tempuh jarak 1 Km atau lebih. Jika penebangan di lakukan
berlebihan maka terjadi pembunuhan jangka panjang bagi masyarakat Arma itu
sendiri. Sejalan dengan masyarakat kontra hak pengusahaan hutan maka ada
tangapan dan jawaban dari informan berikut ini :
Sejujurnya
saya sampaikan bahwa saya ini orang yang paling binci hak pengusahaan hutan.Kenapa.?
Karena HPH itu sepertinya Belanda jajah Indonesia yang mana hasil-hasil hutan
di bawah oleh penguasa hutan. Bukti sekarang saja ada perjanjian yang di buat antara
kedua bela pihak (masyarakat Arma dengan PT. Jaya Karya Berdikari) masyarakat
lapang dada terima tapi realisasi dari janji-janji manis itu tidak ada yang
berjalan bagus. Contoh saja pihak HPH kasih bantuan untuk orang Arma, macam
kasih gula-gula untuk anak-anak kecil. (Hasil wawancara dengan Sdr. Isak
Jambormias)
Sesuai
dengan pandangan diatas maka penulis menarik kesimpulan bahwa informan secara
gigi dan terang-terangan menyatakan sikap penolakan terhadap keberadaan hak
pengusahaan hutan di petuanan masyarakat hukum adat. Berbagai landasan
pemikiran antara kelompok yang pro dan kontra masuknya PT. Jaya Karya Berdikari
maka terjadilah konflik horizontal antara kelompok pro dan kelompok kontra.
Kenyataan di lapangan membuktikan bawah kelompok yang menerima HPH adalah
rata-rata stack holder atau para pemandu kepentingan di masyarakat Arma
(pemerintah Desa, tua-tua adat dan sebagian masyarakat) yang di rangsang oleh
strategi PT. Karya Jaya Berdikari (memberikan upah) untuk memanfaatkan kelompok
ini sebagai basis kekuatan untuk mengamankan situasi dan kondisi ketegangan
yang terjadi dalam masyarakat guna melancarkan proses eksploitasi hasil hutan
terlepas dari keamanan aparat pemerintah (TNI, POLRI).
b.
Konflik
Sosial
Konflik
merupakan fenomena sosial yang sangat lazim ditemukan di berbagai lapisan
masyarakat. Pada masyarakat dengan tingkat diversity yang tinggi membuka ruang
untuk terjadinya konflik. Konflik komunal yang terjadi di Indonesia ternyata
tidak semudah yang dibayangkan. Artinya, tidak serta merta bahwa konflik
tersebut masih merupakan konflik yang didasarkan pada perbedaan identitas
kelompok (etinis, suku, agama).
Konflik yang
terjadi pada masyarakat, berdasarkan analisa dari beberapa peneliti menunjukkan
adanya intervensi elit, sehingga realitas konflik tersebut sepertinya tumpang
tindih dan sulit membedakan apakah konflik tersebut merupakan konflik yang
disengajakan oleh para elit atau memang konflik murni yang terjadi antar
anggota masyarakat berdasarkan kepentingannya. Sebaliknya, bisa terjadi bahwa
konflik yang terjadi di dalam masyarakat ditunggangi sedemikian rupa untuk
kepentingan elit yang dapat menjurus kepada conflict
violence yang lebih dahsyat.
Konflik bisa
bersifat langsung maupun tidak langsung. Lewis A.Coser membedakan konflik dalam
dua bagian yaitu konflik bersifat realistik dan non realistik. Suatu konflik itu bersifat realistik kalau sasaran
konflik itu jelas dan menurut perhitungan kedua belah pihak yang berkonflik,
dapat dicapai dengan cara-cara tertentu. Konflik semacam ini, permusuhan,
pertikaian akan rendah kalau tujuannya tercapai. Selanjutnya Coser mengatakan,
dalam konflik seperti ini apabila salah satu pihak yang kalah akan tetap merasa
dirugikan, sehingga keputusan akhir diterima, pihak kalah masih berada dalam
posisi konflik. Sementara dalam keadaan dimana belum tercapainya keputusan
akhir terhadap pihak yang kalah atau menang, konflik yang berkepanjangan.
Konflik itu bersifat non realistik apabila kedua belah pihak yang terlibat dalam
pertikaiaan atau konflik mempunyai sasaran untuk mencapai tujuan yang sangat
sulit dicapai, terutama yang menyangkut nilai-nilai inti ( core values ). Dalam
konflik seperti ini, pihak-pihak yang terlibat konflik cendrung emosional,
bertindak membabi buta tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi dibalik
konflik itu. Selanjutnya Coser mengatakan, konflik nonrealistik cendrung
berulang, tanpa dapat diantisipasi, sulit berhenti dan sering pula berlangsung
lama, karena nilai inti itu pada dasarnya tidak dapat dikompromikan. Sikap
permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial dapat berimplikasi pada terjadinya
tindakan tertentu. Konflik bisa bersifat langsung maupun tidak langsung.
Sebagaimana digambarkan oleh Lewis A.Coser, bahwa konflik atau pertentangan antara
individu atau kelompok tidak lain adalah untuk memperoleh status, kekuasaan
pengaruh dan sumber daya.
Sangat menarik
untuk di cermati dengan tanggapan serta jawaban dari informan berikut ini
tentang konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat Arma.
Secara umum konflik sosial yang
terjadi dalam masyarakat Arma yaitu konflik di dalam masyarakat dalam hal ini
kelompok masyarakat yang setuju HPH kerja dengan kelompok masyarakat yang tidak
menyetujui HPH kerja. (Hasil wawancara dengan dosen pertanian Bpk. E.
Jambormias)
v Bagan
Konflik Horizontal – Vertikal Dalam Masyarakat Arma
Berdasarkan
bagan konflik sosial pro dan anti masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya
Berdikari sesunggunya ada dua konflik fundamental yang terjadi, pertama konflik
horizontal atau konflik internal masyarakat Arma) dan yang kedua konflik vertikal
atau konflik eksternal antara masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari.
a.
Konflik
Horizontal
Konflik
horizontal merupakan konflik yang terjadi dalam lingkaran masyarakat setempat, Konflik horizontal adalah konflik
antara individu maupun kelompok yang biasa terjadi diantara individu atau
kelompok yang memiliki status sosial yang sama. Konflik yang terjadi diantara
sesama kelas, strata, nasib atau derajat yang sama. Konflik
horizontal juga dapat di kelompokan menjadi konflik horizontal searah dan
konflik horizontal berlawanan yakni :
1. Konflik
Horizontal Searah yaitu konflik yang terjadi dalam masyarakat yang mempunyai
tujuan yang sama sehingga masing-masing orang atau kelompok tertentu mempunyai
perjuangan yang sama untuk mendapatkan hasil yang sama pula.
Dalam
situasi dan kondisi masyarakat Arma dengan hadirnya hak pengusahaan hutan untuk mengeksploitasi hak ulayat masyarakat
Arma memunculkan insiden bagi masyarakat setempat. Namun demikian dalam upaya
untuk menjaga keseimbangan keuntungan dan kesejahteraan masyarakat Arma
sehingga muncul sikap saling memuaskan satu dengan yang lain maka ada sebuah
usaha untuk kebutuhan tersebut sehingga sebagian masyarakat yang mempunyai kesamaan
pendapat dapat memperjuangkan tujuannya. Misalnya memperjuangkan untuk
pembebasan lahan pertanian, perjuangan untuk menyelamatkan hajad hidup orang
banyak terlebih khusus generasi berikutnya, perjuangan untuk mengusir hak
pengusahaan hutan dan lain sebagainya.
2. Konflik
Horizontal Berlawanan yaitu kebalikan dari konflik horizontal searah bahwa
konflik yang terjadi dalam masyarakat dengan tujuan yang berbeda sehingga
masing-masing individu atau kelompok tertentu tidak akur satu dengan yang lain.
Konflik
tersebut terjadi dalam waktu dan kondisi yang sama namun dengan kepentingan
yang berbeda (kepentingan selegintir orang) menciptakan potensi konflik yang
besar di balik itu terjadi kontraversi antar individu atau kelompok sehingga
kesolidaritasan masyarakat setempat tengelamkan oleh kepentingan itu sendiri.
Misalnya
keinginan untuk terlibat dalam kelompok atau tim untuk menjembatani kepentingan
masyarakat Arma dengan hak pengusahaan hutan, mendapat status sosial dan
kesempatan untuk memainkan peran serta kesempatan kerja bagi individu atau
kelompok tertentu.
Yang
menjadikan konflik horizontal dalam masyarakat Arma ini dasarnya dari
kepentingan segelintir orang semata, karena beta lihat selama ini hanya
kelompok-kelompok tertentu saja yang selalu membuat honor, selalu memprovokasi
individu atau kelompok satu dengan lainnya tujuannya untuk mendapatkan
keuntungan karena mereka-mereka ini jadikan HPH sebagai basis keuntungan.
(Hasil wawancara dengan Bpk. Isak. Jambormias)
Menyimak pandangan informan diatas bahwa
Konflik horizontal (Searah atau Berlawanan) merupakan kategori konflik internal
yakni konflik yang terjadi hanya dalam masyarakat Arma seperti yang di katakan
oleh Coser bahwa konflik internal adalah konflik yang sering terjadi dalam
kelompok internal itu sendiri sehingga memperlemah ruang solidaritas diantara
mereka.
b.
Konflik
Vertikal
Konflik vertikal adalah konflik yang
terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan, kewenangan dan
status sosial berbeda. Konflik vertikal dapat di bagi menjadi
konflik vertikal searah dan konflik vertikal berlawanan.
1. Konflik
vertikal searah merupakan konflik yang berlangsung pada sebuah kelompok atau
masyarakat setelah munculnya sebuah kesadaran atas sesuatu yang telah terjadi
yang sebelumya belum pernah di pikirkan terlebih dahalu.
Konflik
ini terjadi dalam waktu yang bersamaan dengan konflik vertikal berlawanan namun
mempunyai tujuan yang berbeda. Lebih fokus kepada prinsip dan komitmen
masyarakat. Misalnya gerakan sosial masyarakat Arma untuk memusyawarahkan
aspirasi masyarakat lewat pertemuan bersama masyarakat Arma dengan PT. Karya
Jaya Berdikari dengan berujung pada kesepakatan atau negosiasi.
2. Konflik
vertikal berlawanan yaitu konflik yang terjadi pada individu atau kelompok
tertentu baik itu muncul berdasarkan sebuah kesadaran maupun tidak dengan
mempertahankan prinsip awalnya guna mencapai tujuan tersebut yakni mendapatkan
keuntungan.
Konflik ini terjadi ketika salah
satu pihak (masyarakat Arma) merasa dirugikan oleh hak pengusahaan hutan
sehingga memunculkan konflik. Konflik muncul ketika ada musyawarah dan mufakat
antara hak pengusahaan hutan dengan masyarakat Arma, namun dalam
implementasinya nihil sehingga pihak yang lain (masyarakat Arma) melakukan aksi
gerakan sosial dengan tindakan perlawanan terhadap karyawan hak pengusahaan
hutan, pembakaran basc camp perusahan dan sebagainya. Seperti yang dijelaskan weber lewat empat
tipe tindakan sosial salah satunya Tindakan afektif yaitu tindakan ini bersifat spontan,
tidak rasional dan merupakan refleksi emosional dari individu atau dengan kata
lain tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan
kepura-puraan si aktor
Ada
hubungan sebab - akibat konflik sosial yang terjadi antara masyarakat Arma
dengan HPH kenapa demikian, karena salah satu pihak merasa dirugikan dan pihak
yang lain merasa diuntungkan atau tidak ada keseimbangan dalam hubungan
dibangun jadi mau tidak mau konflik ini
tetap ada. (Hasil wawncara dengan Bpk. Topi Jambormias)
Dengan tanggapan dan jawaban dari
informan diatas dapat dikatakan bahwa konflik vertikal (searah/berlawanan)
merupakan konflik eksternal seperti dijelaskan oleh Coser bahwa konflik
eksternal adalah konflik yang terjadi antara kelompok yang satu dengan kelompok
yang lain, sehingga dapat memperkuat masing-masing kelompok yang bertikai.
Kemudian konflik yang terjadi juga bukan secara individu tetapi secara
berkelompok, maka Lewis Coser berpandangan bahwa konflik sering memperkuat dan
mempertegas batas kelompok dan meningkatkan penggalangan solidaritas internal
kelompok. Konflik antara kelompok merupakan penghadapan antara in –group dan
out-group.
Ketika konflik terjadi,
masing-masing anggota dalam satu kelompok akan meningkatkan kesadaran sebagai
sebuah kelompok (in-group) untuk berhadapan dengan kelompok lain (out-group).
Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih
kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas
kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial lainnya
(Poloma, 1987:108). Ketika ada ancaman dari luar maka kelompok tidak mungkin
memberikan toleransi pada perselisihan internal.
c.
Kesadaran
Sosial Masyarakat Arma
Pada suatu titik tertentu akan
muncul suatu kesadaran sosial yang berupa kebangkitan atas apa yang terjadi
selama ini. Kemunculan kesadaran sosial ini bisa saja menimbulkan suatu konflik
atau suatu pembangkangan dan perlawanan. Demikian juga sebaliknya akan
menyatukan terbangunnya kesadaran sosial yang menjadi power bagi suatu
pembangunan atau terwujudnya keteraturan sosial. Kesadaran sosial yang dibangun
berdasar pada edukasi dan kecerdasan maka akan mampu mendorong dan membangun
keteraturan dengan situasi tanpa konflik fisik dan merupakan tangungjawab
aparat penyelenggara negara. Namun sebaliknya kesadarian sosial yang bangkit
atas situasi yang membodoh - mebodohi mereka apalagi karena terlalu
mengeksploitasi rakyatnya sehinga menimbulkan berbagai kesengsaraan, maka cepat
atau lambat akan terjadi konflik sosial yang begitu besar bahkan mungkin chaos.
Seperti halnya pada kondisi sosial masyarakat Arma dengan berbagai perubahan
dalam kehidupan bermasyarakat maka muncullah sebuah kesadaran masyarakat
tersebut, sangat menarik ketika mendengar respon dan jawaban dari informan
berikut ini :
Saya lihat selama ini banyak hal
terjadi dalam masyarakat Arma, kenapa demikian, coba katong bandingkan saja
sebelum dan sesudah HPH itu masuk di desa tercinta ini. Awalnya sebelum HPH
masuk katong hidup ini aman dan nyaman setelah awal HPH masuk katong lihat apa
yang terjadi, ternyata terjadi keributan sana sini, orang basudara itu nomor
tiga di banding orang HPH. Orang Arma tidak kenal saudara hanya kenal uang dan
perusahan. Saya sangat kasihan sekali. Masyarakat banyak lebih pilih HPH masuk
daripada tolak HPH. Skrang buktinya apa HPH tidak tepati janji. Makanya sekrang
masyarakat Arma sadar lalu dong mau buat gerakan untuk tolak HPH su terlambat
makanya masyarakat hanya bisa buat gerakan-gerakan kecil-kecilan untuk dapat
keuntungan sedikit dari perusahan saja. (Hasil wawancara dengan tokoh adat Bapak.
Yafet Masela)
Sesuai dengan pandangan informan
diatas dapat dijelaskan secara terperinci bahwa kesadaran sosial muncul ketika adanya
keterasingan dalam masyarakat itu sendiri. Kesadaran sosial bisa juga
membangkitkan solidaritas. Pada kesadaran sosial yang dasarnya adalah
kecerdasan dan paraoduk dari transformasi maka akan memajukan dan meningkatkan
kualitas di segala bidang. Kesadaran tersebut merupakan suatu legitimasi atau
kepatuhan atas penghargaan atau dukungan terhadap terselenggaranya tata
kehidupan sosial. Yang secara signifikan dirasakan manfaatnya dalam upaya-upaya
peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Namun sebaliknya bila kesadaran yang
timbul akibat ketidak percayaan, atau akibat perasaan yang tidak nyaman atau
menganggap kinerja penyelenggara tata kehidupan sosial yang masa bodoh dan
tidak menunjukan upaya-upaya peningkatan kualitas hidup ini akan menjadi suatu
upaya ketidak percayaan, perlawanan, pembangkangan dan hilangnya legitimasi.
Kesadaran sosial yang muncul karena
kesengsaraan, kesewenang-wenangan, tindakan yang apatis aparat dan pemerinta
akan berdampak pada timbulnya konflik sosial dan akan terjadi berbagai tuntutan
terhadap penguasa atau para penyelenggara pemerintahan atau pihak-pihak yang
mereka anggap tidak becus menyelenggarakan tugasnya.
Kesadaran sosial merupakan bagian
dari peradaban bangsa untuk dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang.
Tatkala kesadaran sosial dibangun dari edukasi dan tangung jawab
serta kinerja yang sinergis antar pemangku kepentingan, maka akan menghasilkan
suatu keteraturan sosial. Namun jika sebaliknya kesadaran sosial yang terbangun
karena ketidak puasan, kesewenang-wenangan, ancaman, berbagai tindakan
penyelenggara kehidupan sosial yang tidak menyenangkan maka yang terjadi adalah
perlawanan. Tatkala perlawanan tersebut sebagi soft power sebagi gerakan moral
yang anti anarkis atau gerakan damai akan membangun suatu solidaritas. Tatkala
perlawanan menjadi suatu yang anarkis maka yang terjadi adalah sebuah
solidaritas yang akan merusak tata kehidupan sosial yang rehabilitasinya
memakan waktu dan proses yang cukup panjang. Manakala tidak berhasil akan
berujung kehancuran.
E.
Perubahan
Sosial Masyarakat
Hal
ini secara langgsung memberikan gambaran secara universial terkait dengan
perubahan-perubahan yang sifatnya positif dan negatif yang terjadi pada
masyarakat lokal yang di pandang dari segi sosial, segi budaya, segi ekonomi,
dan serta segi ekologi.
Setiap
masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan, karena tidak ada masyarakat
yang bersifat statis. Perubahan tersebut ada yang sedikit ada juga yang banyak,
ada yang cepat dan ada juga yang lambat. Pengaruh kebudayaan hanya dapat diketahui
oleh seorang yang sempat mengadakan penelitian susunan dan kehidupan suatu
masyarakat pada suatu waktu tertentu yang kemudian dibandingkan dengan waktu
yang lain.
Perubahan-perubahan
yang terjadi dalam masyarakat menimbulkan ketidaksesuain antara unsur-unsur
sosial yang ada dalam masyarakat, dengan kata lain perubahan-perubahan
ketidaksesuain di antara unsur –unsur sosial yang saling berbeda dalam
masyarakat sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak serasi sosial,
akan merubah struktur dan fungsi dari unsur-unsur sosial dalam masysrakat.
Dengan demikian perubahan dalam masyarakat mengandung pengertian ketidaksesuain
di antara unsur-unsur sosial yang saling berbeda dalam masyarakat sehingga
menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat
yang bersangkutan.
Perubahan
tersebut dapat mencakup pada aspek yang sempit maupun yang luas. Perubahan pada
aspek sempit dapat meliputi aspek prilaku dan pola berpikir setiap individu,
sedangkan perubahan pada aspek yang luas dapat meliputi perubahan dalam tingkat
struktur masyarakat yang nantinya dapat mempengaruhi perkembangan masyarakat di
masa yang akan datang.
Kondisi diatas terjadi pula dalam
pemanfaatan sumber daya hutan di Desa Arma Kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku
Tenggara Barat. Di mana persoalan hak atas lahan hutan yang merupakan bagian
terpenting dari kehidupan masyarakat lokal seringkali merupakan potensi
konflik. Kegiatan HPH seperti penebangan kayu secara besar-besaran untuk
kebutuhan industri pengolahan kayu telah menimbulkan kemerosotan mutu
lingkungan yang diderita masyarakat lokal. Terancamnya kelestarian sumberdaya
air bagi masyarakat lokal akibat kerusakan hutan, polusi air dan udara yang
disebabkan oleh industri pengolahan kayu telah mengancam kondisi kehidupan
masyarakat lokal. Masyarakat lokal boleh dikatakan tidak ikut menikmati hasil
dari pemanfaatan hutan, tetapi harus menanggung dampak negatifnya, hal ini
memicu perlawanan masyarakat lokal terhadap pengusaha HPH (Saragih, 2001).
Selain persoalan hak atas lahan hutan di
Desa Arma, ini juga didasarkan pada kondisi masyarakat setempat yang masih
mengakui nilai-nilai adat atau kearifan lokal dalam menata pergaulan bersama
dan juga upaya untuk melesatarikan hutan menurut adat/tradisi masyakarat setempat.
Hal mana hutan menurut mereka masih dianggap sebagai suatu potensi yang hingga
kini sangat membantu dalam upaya meningkatkan taraf kehidupan masyarakat
setempat. Di mana tersedia berbagai jenis hasil hutan kayu maupun bukan kayu
yang dapat dikelola guna menunjang kehidupan mereka setiap hari, dan itulah
yang menjadi tumpuan mereka sehingga berbagai pihak termasuk masyarakat
setempat senantiasa berupaya untuk memanfaatkan atau mengejar keuntungan
ekonomi dari potensi yang tersedia di Desa Arma.
Untuk
mengetahui tanggapan serta jawaban masyarakat terkait dengan perubahan sosial
masyarakat maka dapat di cermati sebagai berikut;
Kalau
bicara perubahan ya tentu pasti ada perubahan-perubahan, beta sendiri lihat
kondisi masyarakat Arma dengan HPH masuk untuk beroperasi ini terjadi perubahan
paling banyak sekali dan perubahan itu akan tidak dari satu aspek saja tapi
dari berbagai aspek. Misalnya aspek ekonomi, lingkungan, budaya dan seterusnya.
(hasil wawancara dengan Bpk. Tian Siletty)
Dengan
penjelasan informan di atas, bahwa pada prinsipnya terjadi perubahan-perubahaan
dalam kehidupan sosial masyarakat Arma, perubahan-perubahan tersebut berupa :
1. Distorsi
atau pengikisan terhadap hubungan sosial
2. Konflik
internal (antara kelompok pro dan kontra)
3. Konflik
eksternal (masyarakat Arma dengan PT. Jaya Karya Berdikari),
4. Pergeseran
pekerjaan (petani menjadi tenaga kerja perusahan),
5. Cara
pandang masyarakat berbeda-beda terhadap sistem kerja yang di terapkan oleh HPH
sehingga mengikis nilai-nilai sosial budaya dalam masyarakat
6. Fungsi
sosial berubah menjadi fungsi ekonomi karena semakin tinggi kebutuhan
7. Persekutuan
keluarga dan tanggung jawab bersama kelompok keluarga dalam menyelesaikan suatu
masalah mulai bergeser pada logika hubungan sosial yang bersifat rasional,
8. Kalkulasi
untung rugi yang sebelumnya tidak pernahh ada kian menjadi bagian dari praktek
hubungan sosial masyarakat Arma,
9. Uang
memegang peranan cukup penting dalam menata pembangunan sosial masyarakat Arma.
10. Pendapatan
pada masyarakat lokal tidak statis
11. Dampak
teknologi modern yang digunakan HPH merubah nilai-nilai budaya,
Pada dasarnya sebagian besar masyarakat
Arma merupakan masyarakat petani, terlepas dari pada nelayan yang hidupnya
tergantung pada alam. Kehidupan pada masyarakat di dukung dengan Norma-Norma
dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat setempat sehingga masyarakat hidup
teratur, dengan berbagai aturan yang ada masyarakat pun dapat memahami dan
mentaati aturan tersebut. Terlepas dari kehidupan keteraturan tersebut terjadi
pergeseran norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya ketika masuknya PT. Karya
Jaya Berdikari sebagai pengelolah hak pengusahaan hutan (HPH) di Pulau Yamdena
khususnya di Desa Arma yang membuat sehingga terjadinya kontrafersi dan
perubahan dalam masyarakat Arma.
Menurut Farley dalam Piotr Sztompaka
menyebutkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan pada pola perilaku,
hubungan sosial, lembaga, dan struktur sosial pada waktu tertentu. Dengan
maksud tertentu secara tidak langsung digambarkan bahwa perubahan sosial dalam
masyarakat Arma terdegradasi dengan hadirnya hak pengusahaan hutan. Sehingga
perubahan sosial terjadi dalam semua segi kehidupan masyarakat, yakni :
a. Perubahan
dalam cara berpikir dan interaksi sesama warga menjadi semakin rasional
b. Perubahan
dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi menjadi semakin komersial
c. Perubahan
pada cara kejra sehari-hari semakin di tandai dengan pembagian kerja
spesialisasi kegiatan yang makin tajam
d. Perubahan
dalam kelembagaan dan kepemimpinan dalam masyarakat yang semakin demokratis
e. Perubahan
dalam tata cara dan alat-alat kegiatan yang makin modern dan efisien, dan
lain-lainnya
F.
Dampak
Sosial Ekonomi Hak Pengusahaan Hutan Terhadap Masyarakat Arma
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Arma
secara umum tergantung kepada alam. Karena masyarakat Arma adalah masyarakat
petani sehingga dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga terlebih khusus
kebutuhan pokok dan kebutuhan sekunder, alamlah yang diprioritaskan untuk
kelangsungan hidup. Seiring dengan proses pengeksploitasian perusahan pada hak
petuanan masyarakat terhadap dampak sosial ekonomi masyarakat Arma maka dapat
di jelaskan lewat informan berikut ini.
HPH sebelum masuk
kehidupan sosial ekonomi masyarakat seperti biasanya yaitu bertani, nelayan,
kupas kelapa, solidaritas baik dan lain sebagainya. Sekarang HPH masuk
kehidupan sosial ekonomi masyarakat pun agak sedikit berbeda sebelumnya yaitu
ada kesempatan kerja di perusahan, lapangan pekerjaan cukup tersedia, akses
mobilitas lebih muda. (Hasil wawancara dengan Bpk. Ateng Mawar)
Dari penjelasan diatas maka Menurut
Syahza (2004) Dampak Sosial dan Ekonomi pada masyarakat ialah :
o
Menyempitnya lahan usaha tani
o
Berkurangnya kepemilikan tanah bagi
masyarakat hukum adat.
o
Ada pendatang (bisa berbeda suku dan
agama).
o
Sering terjadi konflik antara masyarakat
hukum adat dengan pendatang dan dengan perusahan HPH.
o
Tersedianya akses jalan menuju hutan dan
meningkatkan mobilitas penduduk.
o
Menciptakan peluang usaha dan kesempatan
kerja.
o
Peningkatan pendapatan masyarakat
sekitar.
o
Meningkatkan ilegal lodging.
o
Pemberdayaan masyarakat, pembentukan dan
pembinaan ekonomi, dan lembaga Pertumbuhan Ekonomi
Sementara dilihat dari Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 1999 dampak sosial dan ekonomi yaitu:
o
Membayar Iuran Hak Pengusahaan Hutan
(IHPH),
o
Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH)
o
Dana Reboisasi (DR)
o
Meningkatkan PAD
G.
Pendapatan
masyarakat sebelum dan sesudah Hak Pengusahaan Hutan
Secara
terperinci dikatakan bahwa kehidupan masyarakat pedesaan merupakan masyarakat
yang latarbelakangnya petani. Sehingga masyarakat desa hidup dari alam dengan
hasil pertaniannya. Hal ini juga terdapat pada masyarakat Arma yakni sebagian
masyarakat Arma merupakan masyarakat petani oleh sebab itu aktifitas
sehari-hari sebagian masyarakat Arma di ladang. Dengan hasil cocok tanam para
petani bertahan hidup dan sering mengekspor hasil pertaniannya ke pasar bisnis
untuk mendatangkan modal. Dari hasil pertanian yang di bawah kepasar bisnis
digunakan untuk menyelamatkan kehidupan rumah tangga maupun studi anak di dunia
pendidikan dan lain sebagainya. Seiring waktu berjalan dengan masuknya hak
pengusahaan hutan maka ada perubahan fundamental yang terjadi dalam masyarakat
Arma. Sangat menarik ketika menyimak tanggapan dan jawaban informan berikut ini
:
Katong
bisa bandingkan saja pendapatan yang katong miliki ketika sebelum dan sesudah
HPH masuk. Sebelum HPH masuk katong punya pendapatan dari hasil kebun itu
berkisar Rp. 3.000.000 sampai Rp. 7.000.000 jika dibawah ke pasar bisnis di
luar daerah misalnya Larat, Saumlaki, Tepa, Kisar, Tual,Dobo, Ambon, Geser dan
Gorong, Fak-Fak- Kaimana. Tapi sekarang pendapatan berkurang ketika masuknya
HPH kenapa demikian, karena hasil pertanian tidak baik, sebab penebangan pohon
secara besar-besaran sehingga intensitas air berkurang makanya hasil pertanian
tidak begitu bagus jadi kalau diekspor untuk jualan hasil kebun nilai
ekonominya hanya sebatas Rp. 2.500.000. sampai Rp. 4.000.000 (Hasil wawancara dengan Bpk. Bambe. Masela)
Informan
diatas memberikan gambaran bahwa pendapatan merupakan salah satu tiang
kehidupan masyarakat. Dengan hadirnya perusahan hal ini dimenyebabkan keadaan
perekonomian yang tidak menentu dan perolehan pendapatan masyarakat petani pun
rendah. Sejalan dengan pendapatan masyarakat maka cermati tangapan dari
informan berikut ini :
Kalau
mau di bilang bahwa pendapatan sebelum dan sesudah perusahaan masuk di Desa
Arma agak sedikit berbeda dan mempunyai peluang usaha yang cukup bagus.
Alasannya yang tadinya HPH belum masuk masyarakat hanya fokus pada pertanian
dan pendapatanpun hanya dengan hasil pertaniannya. Sementara HPH masuk peluang
untuk dapatkan keuntungan agak sedikit berbeda dan sumber untuk dapat uang itu
berbeda-beda misalnya lewat hasil ojek, gaji bulanan di perusahan bagi yang
bekerja dan sebagainya. Misalnya untuk ojek pendapatan perhari Rp. 200.000
sampai Rp. 500.000 atau gaji di perusahaan satu bulan untuk security Rp. 1.
800.000 atau keuntungan pada kios-kios sebelum HPH masuk rata-rata Rp.150.000
sampai Rp. 250.000 perhari sementara HPH masuk mendapat keuntungan Rp. 200.000
sampai Rp. 500.000 perhari. (Pengambungan hasil wawancara dengan beberapa
informan pada pertengahan September sampai akhir September 2015)
Dengan
jawaban informan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
v Pendapatan
sebelum masuknya hak pengusahaan hutan
1.
Sebelum hak pengusahaan hutan masuk di
Desa Arma kehidupan ekonomi masyarakat Arma bergantung pada hasil pertanian
maupun hasil nelayan
2.
Pendapatan dari hasil pertanian perpanen
yang didistribusikan ke pasar bisnis dengan nilai ekonomi berkisar pada Rp.
3.000.000 sampai Rp. 7.000.000
3.
Pendapatan pada kios-kios atau pedagang
asongan per hari yaitu Rp. 150.000 sampai 250.000
v Pendapatan
setelah masuknya hak pengusahaan hutan
1. Sejak
hak pengusahaan hutan masuk di Desa Arma pendapatan masyarakatpun berubah hal
ini di karenakan adanya kesempatan dan peluang kerja dan usaha kerja yang baik.
2. Masuknya
hak pengusahaan hutan menimbulkan lapangan pekerjaan seperti akses
transportasi, perekrutmen tenaga kerja di perusahaan. Sehingga pendapatan
masyarakatpun berubah dari sumber pendapatan yang berbeda pula.
3. Tingkat
pendapatan pada masyarakat sebagai berikut :
a. Hasil
pertanian dengan pendapatan perpanen Rp. 2.500.000 sampai Rp. 4.000.000
b. Pendapatan
pada kios-kios atau pedagan asongan Rp. 200.000 sampai Rp. 500.000
c. Pendapatan
dari hasil ojek perhari Rp. 200.000 sampai 500.000
d. Tenaga
kerja perusahan (security) di beri upah per bulan Rp. 1.800.000
Terjadi
perubahan signifikan pendapatan pada peluang usaha masyarakat Arma ketika
sebelum dan sesudah hak pengusahaan hutan masuk.
H.
Hubungan
masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Bedikari
Dalam
kehidupan masyarakat pasti melalui suatu proses sosial. Bentuk dari proses
sosial adalah interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan
sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok
maupun antar individu dengan kelopok (Soekanto, 2006:62) suatu interkasi sosial
dapat terjadi apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu :
1. Kontak
Sosial
Adanya
kontak sosial, yang dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu antar individu,
antar individu dengan kelompok dan antar kelompok. Dari penjelasan singkat
tersebut dengan melihat kehidupan sosial masyarakat sekitar kontak sosial antar
individu atau individu dengan kelompok sudah ada lewat proses dimana masyarakat
telah mengetahui tentang masuknya hak pengusahaan hutan di Desa Arma. Begitu
pula dengan hubungan sosial antar individu dengan kelompok berdasarkan hubungan
emosional antara masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari.
2. Komunikasi
Komunikasi
yaitu seorang memberi arti kepada orang lain, perasaan-perasaan apa yang ingin
disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi
reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut (Soekanto,
2006:62)
Komunikasi
dalam hubungan sosial masyarakat dengan PT. Karya Jaya Berdikari menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini
dikarenakan masyarakat sekitar termasuk masyarakat majemuk sehingga untuk
mempermudah mereka dalam berkomunikasi. Sehingga apa yang di maksud oleh salah
satu individu dapat dimengerti oleh orang lain atau individu yang lain atau
antar individu dengan kelompok yang dapat mewujudkan relasi yang baik.Terhadap
hubungan sosial masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari maka dapat
dicermati pandangan informan berikut ini;
Sejauh ini hubungan masyarakat Arma dengan
PT. Karya Jaya Berdikari berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi, jika
kondisi tegang maka hubungan pun rengang dan jika hubungan situasi biasa-biasa
saja maka hubungan juga aman. (Hasil wawancara dengan Bpk. Cale Masela)
Sesuai dengan jawaban informan
dengan pengamatan dilapangan dapat disimpulkan bahwa hubungan sosial masyarakat
Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari berjalan dengan baik jika kedua pihak
merasa diuntungkan dan jika salah satu pihak merasa tidak di rugikan maka
hubungan sosial berjalang rengang. Misalnya hak pengusahaan hutan telah
mengeksploitasi hasil hutan milik masyarakat Arma maka ada
kesepakatan-kesepakatan yang perlu diambil dan diputuskan bersama sebagai dasar
untuk membangun relasi. Namun dalam tahap pelaksanaan butir-butir kesepakatan
itu tidak dapat direalisasikan dengan baik oleh PT. Karya Jaya Berdikari maka
hubungan sosial masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari pun rengang.
Artinya ada hubungan timbal-balik atau hubungan sebab akibat dalam membangun
hubungan sosial masyarakat Arma dengan hak pengusahaan hutan.
Terkait
dengan kehidupan sosial masyarakat Arma dengan hak pengusahaan hutan sangat
menarik untuk dilihat tanggapan informan berikut ini;
Hubungan
sosial antara PT. Karya Jaya Berdikari kalau mau dikatakan katong lihat dari
hubungan darah yaitu pimpinan perusahan dalam hal ini Bpk. Jhon Keliduan ada keterkaitan hubungan darah dengan
masyarakat Arma terlebih khusus marga Jambormias karena ada hubungan duan-lolat,
dan dari kehidupan sehari-hari pimpinan perusahan dan karyawannya sangat akrab
sekali dengan masyarakat. Kalaupun ada permintaan bantuan dari masyarakat kami
perusahan siap membantu. Misalnya pengunaan mobil untuk transportasi, pemakaian
alat-alat perusahan untuk kepentingan masyarakat bahkan bantuan perusahan untuk
menyalurkan dana dan sembakau bagi masyarakat Watmuri yang kena musibah atau
kecelakaan maut. Bahkan tenaga kerja perusahan juga kami rekrut dari masyarakat
Arma. (hasil wawancara dengan tenaga kerja PT. Karya Jaya Berdikari/kepala
operasional. Bpk. Akle Fanumbi)
Dengan tanggapan dan jawaban
informan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Arma dengan hak pengusahaan
hutan mempunyai hubungan yang baik sehingga ada hubungan-hubungan emosional
yang dibangun secara kekeluargaan maupun lewat interksi setiap hari antar
sesama individu maupun kelompok.
BAB IV
MANIFESTASI KONFLIK INTERNAL DAN
KONFLIK EKSTERNAL
DI DESA ARMA DENGAN PT. JAYA KARYA
BERDIKARI
DAN SOLIDARITAS SOSIAL MASYARAKAT
ARMA
Konflik
adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin bisa dilepaskan dari kehidupan
masyarakat. Selama masyarakat masih memiliki kepentingan, kehendak, serta
cita-cita konflik senantiasa “mengikuti mereka”. Oleh karena dalam upaya untuk
mewujudkan apa yang mereka inginkan pastilah ada hambatan-hambatan yang
menghalangi, dan halangan tersebut harus disingkirkan. Tidak menutup
kemungkinan akan terjadi benturan-benturan kepentingan antara individu dengan
kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Jika hal ini terjadi, maka konflik
merupakan sesuatu yang niscaya terjadi dalam masyarakat. Konflik antar budaya
ataupun multidimensional yang sering muncul dan mencuat dalam berbagai kejadian
yang memprihatinkan dewasa ini bukanlah konflik yang muncul begitu saja. Akan
tetapi, merupakan akumulasi dari ketimpangan–ketimpangan dalam menempatkan hak
dan kewajiban yang cenderung tidak terpenuhi dengan baik.
Dalam kehidupan bermasyarakat seiring
waktu berjalan terjadi berbagai macam dinamika kehidupan sosial yang terjadi
antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok
dengan kelompok itu sendiri. Dari sekian banyak dinamika kehidupan sosial
masyarakat itu, salah satunya ialah konflik sosial. Konflik secara etimologis adalah
pertengkaran, perkelahian, perselisihan tentang pendapat atau keinginan; atau
perbedaan; pertentangan berlawanan dengan; atau berselisih dengan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik mempunyai arti percekcokan; perselisihan;
dan pertentangan. Sedangkan menurut kamus sosiologi konflik bermakna the
overt struggle between inthviduals or groups within a society, or between
nation states, yakni pertentangan secara terbuka antara individu-individu
atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat atau antara bangsa-bangsa.
A. Konflik
internal dan solidaritas sosial masyarakat Arma
Pada hakekatnya konflik merupakan harga mati bagi setiap
individu atau kelompok masyarakat yang terus berlangsung dalam kehidupan sosial
masyarakat sehingga terjadi dinamika sosial seperti timbul kesadaran sosial
masyarakat yang bertikai, memperkuat atau memperlemah solidaritas, terjadi
perubahan-perubahan sosial dan lain sebagainya.
Umumnya dalam kehidupan sosial masyarakat Arma dengan
hadirnya PT. Karya Jaya Berdikari sebagai pemegang hak pengusahaan hutan
menimbulkan gejolak sosial yang mencolok dalam masyarakat setempat. Dinamika
kehidupan sosial masyarakat yang terjadi dengan keberadaan hak pengusahaan
hutan di petuanan masyarakat menimbulkan kontrafersi antar masyarakat dengan
lain kata terjadi dualisme kelompok masyarakat yakni kelompok masyarakat pro
hak pengusahaan hutan dan kelompok masyarakat kontra hak pengusahaan hutan.
Konflik yang terjadi dalam masyarakat tersebut dikategorikan sebagai konflik internal.
Konflik internal juga disebut konflik horizontal karena
konflik tersebut hanya terjadi dalam lingkaran masyarakat setempat. Konflik pro
dan kontra berawal dari masuknya PT. Jaya Karya Berdikari di petuanan
masyarakat Arma dengan dasar pikir masing-masing kelompok yang berbeda. Berikut
ini asumsi masing-masing kelompok (pro dan kontra) terhadap eksploitasi hak
ulayat masyarakat Arma.
1.
Asumsi
kelompok masyarakat pro PT. Karya Jaya Berdikari
Ø Atas dasar hubungan politik
Ø Negosiasi masyarakat Arma dengan PT.
Karya Jaya Berdikari
Ø Ada kesempatan kerja
Ø Pengetahuan masyarakat tentang
alat-alat moderen meningkat
Ø Mengarah pada kepentingan dan
kebutuhan semata
2.
Asumsi
kelompok kontra PT. Karya Jaya Berdikari
Ø Dominan masyarakat Arma ialah petani
Ø Terjadi kekeringan
Ø Konflik sosial berkepanjangan
Ø Keberadaan generasi berikut di 5
tahun sampai 10 tahun mendatang
Atas dasar asumsi inilah sehingga menimbulkan kelompok
masyarakat pro dan kelompok masyarakat kontra karena kebenaran yang satu
diperhadapkan dengan kebenaran yang lain. Solidaritas masyarakat Arma sebelum
masuknya PT. Karya Jaya Berdikari merupakan hubungan solidaritas yang baik,
yang dibangun antar individu mapun kelompok berdasarkan hubungan ikatan
persaudaraan antar sesama. Hubungan solidaritas tersebut dapat di lihat dan
dirasakan ketika seseorang atau kelompok masyarakat tersebut saling berbagi,
saling menolong atau saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hal ini
berbeda ketika masuknya hak pengusahaan hutan, solidaritas masyarakat berubah
jauh dibandingkan sebelumnya yakni hubungan sosial tidak dibangun berdasarkan
pada logika berpikir atas dasar persaudaran tapi lebih fokus pada hubungan
semata yang bergantung pada kepentingan dan keuntungan sesaat. Hal ini membuat
sehingga konflik sosial (konflik internal) terjadi antara kelompok masyarakat
pro dan kelompok masyarakat kontra.
Menurut L. Cover
konflik internal adalah konflik yang sering terjadi dalam kelompok internal itu
sendiri sehingga memperlemah ruang solidaritas diantara mereka. Jelaslah bahwa
konflik internal dalam masyarakat Arma memperlemah hubungan solidaritas dalam
masyarakat tersebut.
o
Bagan Konflik Internal dan Solidaritas
Masyarakat Arma
Pada bagan tersebut digambarkan
bahwa konflik internal ialah konflik yang terjadi dalam masyarakat Arma dengan
dualisme kelompok yakni kelompok pro dan kelompok kontra, konflik ini
memperlemah solidaritas masyarakat Arma.
B. Konflik
eksternal dan solidaritas internal masyarakat Arma
Kondisi
sosial masyarakat Arma sangat dinamis ketika PT. Karya Jaya Berdikari masuk dan
sebagai sumber konflik bagi masyarakat hukum adat tersebut. Keberadaan hak
pengusahaan hutan pun membawa sejumlah perubahan-perubahan sosial salah satunya
konflik sosial baik itu konflik internal maupun konflik eksternal. Seperti
halnya telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa konflik internal juga merupakan
konflik horizontal dan konflik eksternal bagian dari pada konflik vertikal.
Seperti
yang dijelaskan oleh L. Cover bahwa konflik eksternal ialah konflik yang
terjadi antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, sehingga dapat
memperkuat solidaritas masing-masing kelompok yang bertikai. Konsep ini
mengambarkan bahwa konflik eksternal pada masyarakat Arma dengan PT. Jaya Karya
Berdikari secara langsung memperkuat solidaritas masyarakat Arma itu sendiri,
karena fokus dan perhatian masyarakat akan dampak dan keuntungan serta
kebutuhan masyarakat harus diperhatikan secara bersama-sama. Sangatlah menarik
ketika masyarakat Arma dijadikan sebagai media untuk mengambarkan konflik
eksternal yang terjadi antara masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari.
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental
dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat
menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik
dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
o
Bagan Konflik Eksternal dan Solidaritas
Masyarakat Arma
Pada bagan diatas mengambarkan bahwa
konflik eksternal ialah konflik yang terjadi pada masyarakat Arma dengan PT.
Karya Jaya Berdikari. Yang melatarbelakangi munculnya konflik eksternal ialah :
a. Status
sosial dan kekuasaan yang berbeda (masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya
Berdikari)
b. Kepentingan
dan kebutuhan yang berbeda antar kelompok yang bertikai (masyarakat Arma dengan
PT. Karya Jaya Berdikari)
Dengan munculnya konflik eksternal
maka memperkuat solidaritas internal masyarakat Arma dalam hal ini muncul
kesadaran masyarakat Arma (kelompok pro dan kontra) supaya sama-sama
mengusahakan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat Arma sehingga ada keseimbangan
masyarakat untuk medapatkan kepuasan dari hak pengusahaan hutan dan PT. Karya Jaya
Berdikari pun memperoleh hak atas lahan masyarakat Arma. Kemudian konflik yang
terjadi juga bukan secara individu tetapi secara berkelompok, maka Lewis Coser
berpandangan bahwa konflik sering memperkuat dan mempertegas batas kelompok dan
meningkatkan penggalangan solidaritas internal kelompok. Konflik antara
kelompok merupakan penghadapan antara in
–group dan out-group.
C. Konflik
dan kesadaran masyarakat Arma
Konflik merupakan gesekan yang terjadi antara dua kubu atau
lebih yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, kelangkaan
sumber daya, serta distribusi yang tidak merata, yang dapat menimbulkan
deprifasi relative di masyarakat. Konflik dan kehidupan manusia tidak mungkin
untuk dapat dipisahkan dan keduanya berada bersama-sama karena perbedaan nilai,
status, kekuasaan, dan keterbatasan sumber daya itu memang pasti ada dalam
masyarakat. Konflik akan selalu kita jumpai dalam kehidupan manusia atau kehidupan
masyarakat sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia melakukan berbagai
usaha yang dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada sejumlah hak dan
kewajiban. Jika hak dan kewajiban tidak dapat terpenuhi dengan baik, maka besar
kemungkinan konflik terjadi.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam
ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain.
Misalnya, konflik internal maupun eksternal dalam masyarakat Arma,
masing-masing kelompok mempertahankan idealisme yang telah memperkuat identitas
masing-masing kelompok.
o
Bagan
konflik (eksternal/internal) dan kesadaran masyarakat Arma
Bagan diatas mengambarkan tentang konflik
(internal/eksternal) masyarakat Arma dan PT. Karya Jaya Berdikari serta
kesadaran masyarakat terhadap konflik tersebut dengan memperketat dan
memperkuat solidaritas masyarakat Arma. Pada umumnya konflik dalam masyarakat
Arma berawal dari masuknya PT. Karya Jaya Berdikari sebagai pemegang hak
pengusahaan hutan. Dalam situasi dan kondisi secara bersamaan konflik internal
dan eksternal terjadi sehingga hubungan solidaritas masyarakat Arma melemah
dengan konflik internal atau konflik pro dan kontra. Namun pada konflik
eksternal, solidaritas masyarakat Arma kuat karena konflik ini terjadi antara
PT. Karya Jaya Berdikari dengan masyarakat hukum adat (masyarakat Arma).
Coser melihat katup
penyelamat berfungsi
sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan-
hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup
Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai
untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat
merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas
sebuah sistem atau struktur.
Coser menyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin
besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga
kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang
pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa
permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi
dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan
membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan
tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga
menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. Contoh: Seperti
konflik internal (pro dan kontra) dan konflik eksternal (Masyarakat Arma dan PT.
Karya Jaya Berdikari).
Menurut Lewis A. Coser bahwa konflik mempunyai beberapa
fungsi sebagai berikut:
1).
Konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang berstruktur secara
longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi atau berkonflik dengan
masyarakat lain, dapat memperbaiki kepaduan integrasi.
2).
Konflik dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain.
3).
Konflik dapat membantu mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi.
4).
Konflik juga dapat membantu fungsi komunikasi. Sebelum konflik,
kelompok-kelompok mungkin tidak percaya terhadap posisi musuh mereka, tetapi
akibat konflik, posisi dan batas antar kelompok ini sering menjadi diperjelas.
Oleh karena itu individu bertambah mampu memutuskan untuk mengambil tindakan
yang tepat dalam hubungannya dengan musuh mereka. Konflik juga memungkinkan
pihak yang bertikai menemukan ide yang lebih baik mengenai kekuatan relatif
mereka dan meningkatkan kemungkinan untuk saling mendekati atau saling
berdamai.
Dari
penjelasan-penjelasan diatas maka dampak konflik sosial dibagi menjadi dua
yakni dampak positif dan dampak negatif.
1. Dampak
positif konflik meliputi:
- Konflik
dapat bertambah kuatnya rasa solidaritas antara sesama anggota kelompok
(in group solidarity)
- Konflik
dapat menciptakan integrasi yang harmonis
- Konflik
dapat memperkuat identitas pihak yang berkonflik
- Konflik
dapat menciptakan kelompok baru
- Konflik
dapat membuka wawasan
- Konflik
dapat memperjelas berbagai aspek kehidupan yang masih belum tuntas.
- Konflik
dapat meningkatkan solidaritas diantara anggota kelompok.
- Konflik
dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap individu atau kelompok.
- Konflik
dapat memunculkan kompromi baru.
2.
Dampak negatifkonflik meliputi :
- Rusaknya
fasilitas umum.
- Terjadi
perubahan kepribadian. Menyebabkan dominasi kelompok pemenang
- Konflik
dapat menimbulkan keretakan hubungan antara individu dan kelompok.
- Konflik
menyebabkan rusaknya berbagai harta benda dan jatuhnya korban jiwa.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan yang telah diuraikan tentangHak
Pengusahaan Hutan dan Perubahan Sosial Masyarakat Arma Kecamatan Nirunmas
Kabupaten Maluku Tenggara Barat, maka dapat disimpulkn antara lain :
1. Hak
Pengusahaan Hutan di Pulau Yamdena telah di eksploitasi hasil hutannya
terhitung tiga kali oleh PT. Alam Nusa Segar, PT. Yamdena Hutani Lestari dan PT. Karya Jaya Berdikari
2. Pengetahuan
dan pandangan masyarakat Arma tentang hak pengusahaan hutan sebagai berikut :
a. Terjadi
kontrafersi dalam masyarakat yakni kelompok masyarakat pro hak pengusahaan
hutan dan kelompok masyarakat kontra hak pengusahaan hutan.
b. Terjadi
konflik sosial antara lain konflik vertikal (eksternal) atau konflik antara
masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari dan konflik horizontal (internal)
atau konflik antara kelompok pro dan kelompok kontra hak pengusahaan hutan.
3. Keberadaan
hak pengusahaan hutan di Desa Arma berdampak pada pendapatan nilai ekonomi masyarakat yaitu :
a. Sebelum
hak pengusahaan hutan masuk di Desa Arma rata-rata pendapatan penduduk dari hasil kebun berkisar Rp. 3.000.000
sampai Rp. 7.000.000
b. Setelah
hak pengusahaan hutan masuk di Desa Arma rata-rata pendapatan penduduk dari
hasil pertanian berkisar Rp. 2.500.000 sampai Rp. 4.000.000
4. Kehadiran
hak pengusahaan hutan di Desa Arma membawa perubahan-perubahan dalam
masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan sosial, perubahan
ekonomi, perubahan budaya dan perubahan lingkungan.
5. Hubungan
sosial masyarakat Arma dengan PT. Karya Jaya Berdikari merupakan hubungan yang
dibangun berdasarkan kekeluargaan maupun lewat interaksi setiap hari antar
individu maupun kelompok.
B.
Saran
1. Kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Barat untuk mengevaluasi kinerja
hak pengusahaan di petuanan masyarakat hukum adat
2. Kepada
Dinas Kehutanan Pemerintah DaerahKabupaten Maluku Tenggara Barat untuk
mengontrol aktivitas hak pengusahaan hutan di petuanan masyarakat hukum adat.
3. Kepada
masyarakat Arma sehingga jelih melihat masalah-masalah sosial dengan baik.
4. Secara
rasional hak pengusahaan hutan (HPH) tidak menguntungkan bagi masyarakat Arma
atau masa depan Tanimbar oleh karena bahaya kekeringan, pemangkasan tradisi
bertani, konflik vertikal maupun konflik horizontal, serta masyarakat ekonomi
juga sangat minim bagi pemilik hak petuanan adat, sehingga saya ingin hak
pengusahaan hutan harus segera di hentikan oleh pemerintah otonom Kabupaten
Maluku Tenggara Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Damsar. Sosiologi Ekonomi, Jakarta : PT Rasa
Grafindo Persada. 1997.
Dayk Paul Jhonsons, Teori Sosiologi Klasi dan Modern Jilid 2. Jakarta
PT. Gramedia Pustaka
Utama.,
1996
Dwi Susilo, Rachmad K. Sosiologi Lingkungan. Jakarta : Rajawali
Pers, 2012.
Jones. Pip. Pengantar Teori-Teori Sosial : Teori
Fungsionalisme hingga Post-Modernisme.
Jakarta,
Yayasan Pustaka, Obor Indonesia, 2010.
Lewis A Koser. The Functions of sosial konflic, New
York, Free press, 1956.
Martono. Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial : Presprektif
Klasik, Modern, Posmodern, dan
Poskolonisl. Jakarta,
PT. RajaGrafndo Persada, 2012.
M. S. C, P. Drabbe. Etnorgrafi Tanimbar : Hak Milik Tanah. Netherland,
leiden, 1940.
Ritzer, George. Teori Sosiologi : Edisi Kedelapan, dari Teori Klasik Sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern.
Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2012.
Rahardja. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian.
Yogyakarta, Gadjah Mada
University
Press, 2010.
Renwarin. P. R. Life In The Saryamrene : An Anthropological
Exploration Of The Yamdena,
In The Tanimbar Archipelago,
Maluku, Indonesia.Holland, Universty of Leiden,
1980.
Subagyo. P. Joko S.H. Meode Penelitian Dalam Teori dan Praktik. Jakarta,
Rineka Cipta,
2011.
Sztompaka. Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta,
Prenada Media Group, 2004.